Refleksi
MATA KULIAH EDUCATIONAL MULTICULTURE
MATA KULIAH EDUCATIONAL MULTICULTURE
MUHAMMAD NUZLI
NIM P3A116005
Secara umum penyelenggaraan proses pembelajaran adalah untuk
membangun interaksi peserta didik dengan pendidik, dan sumber belajar yang ada
pada lingkungan belajarnya. Sehingga proses pembelajaran dapat dilakukan dengan
baik untuk mencapai kompetensi belajar peserta didik. Pencapaian kompetensi dalam
proses pembelajaran merupakan upaya dan usaha yang dilakukan dalam meningkatkan
kompetensi peserta didik dilembaga pendidikan. Hal tersebut tidak lain dan
tidak bukan merupakan upaya dalam meningkatkan kecerdasan sumber daya manusia
Indonesia. Dalam proses pembelajaran banyak hal yang dapat mempengaruhi dalam
pencapaian kompetensi peserta didik, mulai dari faktor intern peserta didik
sampai kepada faktor ekstern.
Salah satu faktor intern peserta didik yang mempengaruhi pencapaian tujuan
pembelajarannya adalah faktor kemampuan peserta didik dalam menerima
pesan-pesan dalam proses pembelajaran. Sementara itu salah satu faktor ekstern
yang mempengaruhi peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran bagaimana pengemasan
pesan-pesan pembelajaran yang disampaikan oleh seorang guru, sehingga peserta
didik dapat memahaminya dengan mudah, efektif dan efisien.
Peserta didik merupakan makhluk sosial yang hidup melalui interaksi antara
yang satu dengan yang lain, antara peserta didik dengan peserta didik lainnya,
antara peserta didik dengan pendidik, dan antara pendidik dengan lingkungannya.
Interaksi yang dilakukan oleh peserta didik dengan pendidik merupakan hal yang
sangat penting dalam proses pembelajaran. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam proses pembelajaran guru harus
“memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik
dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya”.[1]
Kemudian penyelenggaraan pendidikan merupakan pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik, sehingga peserta didik mampu membudayakan sesuatu yang mampu
membangun nilai-nilai karakter yang ada pada diri peserta didik. Menurut
Koentjaraningrat ada tiga bentuk kebudayaan yang dikutip oleh Haedar Nashir,
yakni:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan
Dari ketiga bentuk kebudayaan tersebut, dalam proses pembelajaran seorang
pendidik memiliki peluang dan kesempatan dalam melaksanakan tugas melalui
penyampaian ide-ide, gagasan, nilai, norma-norma maupun peraturan-peraturan
yang dapat mengatur peserta didik untuk menjadi manusia yang berbudaya yang
berkembang baik dalam lingkungan sekolah maupun ditengah-tengah masyarakat, dan
juga kebudayaan dapat menghasilkan benda-benda yang bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini memberikan gambaran bahwa guru harus membangun proses
pembelajaran dari sudut budaya yang baik berkembang dilingkungan sekolah maupun
di tengah masyarakat. Sekolah merupakan pembentuk peserta didik, apa yang dilakukan kepada peserta didik dapat memberikan dampak pendidikan berikutnya. Artinya kemajuan dan kematangan
pendidikan anak-anak berkembang
pada masa sekolah.
Pendidikan karakter memiliki hubungan yang erat dengan budaya, pertautan
yang erat antara dua hal tersebut yang ditanamkan dalam proses pembelajaran
akan menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam diri peserta
didik, dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Atas
dasar tersebut pengembangan budaya dan karakter sangat strategis bagi
keberlangsungan pendidikan yang akan datang. Hal tersebut harus dilakukan
dengan perencanaan pembelajaran yang baik, pendekatan pembelajaran yang sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai, dan metode belajar yang mampu menciptakan
kegiatan pembelajaran dalam mengembangkan budaya dan karakter peserta didik,
serta pembelajaran yang efektif sesuai dengan sifat suatu nilai.[3] Pendidikan budaya dan karakter bangsa
merupakan usaha bersama sekolah, baik dari pihak pendidik maupun tenaga
kependidikan; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan
pemimpin sekolah, dengan melalui semua mata pelajaran yang terintegrasi dengan
budaya atau menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.[4]
Melakukan hal tersebut merupakan hal yang tidak mudah apa lagi
pelaksanaannya secara keseluruhan yang terdapat di sekolah. Namun demikian guru
menjadi salah komponen yang berperan untuk melakukan pendidikan budaya dalam
menumbuhkan nilai karakter pada peserta didik. Budaya-budaya yang baik dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat di mana peserta didik tumbuh dan
berkembang, menjadi modal awal seorang pendidik dalam menciptakan peserta didik
yang berbudaya dan berkarakter.
Jika diamati peserta didik di sekolah-sekolah banyak mengikuti
budaya-budaya yang kurang baik, yang sebenarnya dalam suatu masyarakat
mengetahui hal tersebut belum sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Sebagai
contoh salah satunya pada usia Sekolah Dasar sudah mengendarai kendaraan roda
dua (motor). Hal tersebut tidaklah sesuai dengan budaya-budaya kita, bahkan
dengan hal tersebut sudah ada anak-anak seusia Sekolah Dasar yang mengalami
kecelakaan dan lain sebagainya.
Contoh yang lain, nilai budaya yang diyakini di tengah-tengah
masyarakat adalah sangat menghormati orang yang lebih tua, akan tetapi masih
kita temukan hal-hal yang sebaliknya, kadang ditemukan dilingkungan masyarakat
maupun ditemukan dilingkungan sekolah sekalipun, anak-anak kita temukan kurang
bahkan ada yang tidak menghormati orang tua dan kurang menghormati guru-gurunya.
Hal tersebut juga tidak sesuai dengan
budaya-budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat, sementara budaya
menghormati orang yang lebih tua merupakan nilai karakter yang harus ditanamkan
kepada peserta didik, hal ini perlu penanaman dengan baik nilai-nilai karakter
kepada peserta didik.
Demikian juga halnya yang berkaitan dengan kejujuran, sering
ditemukan peserta didik yang belum jujur ataupun yang kurang jujur terhadap
sesama temannya contohnya dalam bermain, maupun kurang jujur dengan guru karena
anak-anak lebih mengutamakan bermain untuk menang dan tidak jujur mengemukakan
alasan tidak membuat pekerjaan rumah karena sibuk bermain. Hal ini tidak sesuai
dengan budaya-budaya yang harus diyakini dalam lingkungan sekolah maupun
masyarakat, dan kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan rasa malu merupakan
nilai karakter yang harus ditanamkan pada peserta didik.
Salah satu yang ikut bertanggung jawab atas hal tersebut adalah pendidik,
peran pendidik dalam proses pembelajaran yang terintegrasi dengan budaya sangat
dibutuhkan, sehingga nilai-nilai karakter yang ada pada peserta didik akan
tumbuh dan berkembang secara positif.
1.
Proses
Pembelajaran Berbasis Budaya
Kata proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online, proses
diartikan “runtunan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu”.[5] Runtutan
perubahan atau disebut dengan peristiwa dalam penelitian ini adalah yang
berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar. Sementara itu pembelajaran itu
sendiri dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional diartikan sebagai
“proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar”.[6] Berdasarkan
hal tersebut pembelajaran yang dimaksud adalah interaksi yang dilakukan oleh
peserta didik dengan pendidik dengan sumber-sumber belajar yang berhubungan
dengan budaya dalam kegiatan belajar dan mengajar.
Budaya merupakan “segala hasil pikiran, perasaan, kemauan dan karya
manusia secara individual atau kelompok untuk meningkatkan hidup maupun
kehidupan manusia atau secara singkat adalah cara hidup yang telah dikembangkan
oleh manusia”,[7] itu yang
dimaksud dengan budaya. Budaya dapat berupa beberapa bentuk menurut Made
Pidarta yang dikutip oleh Yaya Suryana dan Rusdiana, di antaranya dapat berupa benda-benda
yang konkret seperti bangunan-bangunan seperti rumah adat, mobil, televisi,
barang-barang seni, tindakan-tindakan seni; selain itu budaya juga dapat berupa
hal-hal yang abstrak seperti cara berpikir ilmiah, kemampuan menciptakan
sesuatu, imajinasi, cita-cita, kemauan yang kuat untuk mencapai sesuatu dan
keimanan.[8]
Pembelajaran yang dilakukan dengan berbasis budaya tentu melalui
suatu proses transformasi, melalui proses transformasi budaya terjadinya
pembentukan dan pewarisan budaya dari suatu generasi ke generasi berikutnya.[9] Hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.
Peran
serta, melalui perbandingan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari,
Menurut Hames Banks yang dikutip oleh Choirul Mahfud, pendidikan
berbasis budaya memiliki beberapa dimensi, yaitu:
1.
Content
Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu;
2.
The
knowledge construction process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam
sebuah mata pelajaran (disiplin ilmu);
3.
An
equity pedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa
dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi
ras, budaya (culture) ataupun sosial (social);
4.
Prejudice
reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan
metode pengajaran mereka, kemudian melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam
kegiatan olah raga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda
etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan
inklusif.[11]
Dari dimensi pendidikan yang berbasis budaya tersebut, seorang guru
harus memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan isi atau materi pembelajaran
dengan keragaman budaya belajar peserta didik. Kemudian dari segi proses
pembelajaran, guru harus mampu membangun pengetahuan peserta didik dengan
keragaman budaya yang dimilikinya dengan menggunakan metode mengajar yang
sesuai dengan cara belajar atau gaya belajar peserta didiknya yang
beragam-ragam budaya. Selanjutnya mengajarkan peserta didik untuk mampu
melakukan interaksi dengan seluruh komponen yang ada dalam lingkungan sekolah
yang memiliki keragaman budaya.
Dalam proses pembelajaran yang berbasis budaya, menurut Ali Maksum yang
dikutip oleh Choirul Mahfud memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu:
1.
Tujuannya
membentuk “manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat yang berbudaya”
(berperadaban);
2.
Materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan;
3.
Metodenya
demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keragaman budaya bangsa
dan kelompok etnis (multikulturalis);
4.
Evaluasinya
ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi
persepsi, apresiasi dan tindakan terhadap budaya lainnya.[12]
Sehubungan dengan hal tersebut menurut Ali Maksum dalam program
pendidikan yang berbasis budaya harus dikembangkan dua hal, yaitu: a) masalah
prasangka (prejudice), prasangka ras dan prasangka agama; b) mencari
cara-cara yang efektif untuk mengubah tingkah laku untuk mengatasi
prasangka-prasangka tersebut.[13] Melalui
beberapa yang harus dikembangkan tersebut, diharapkan prasangka-prasangka tidak
baik pada peserta didik tidak berkembang, dan diharapkan sebaliknya.
Salah satu firman Allah, SWT yang menjelaskan tentang keberagaman
dan perbedaan antar umat manusia seperti yang terdapat dalam surat Al-Hujarat
ayat 13 yang artinya:
Hai manusia,
Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S Al-Hujarat, 49: 13)[14]
Berdasarkan
ayat tersebut, manusia diperintahkan untuk saling mengenal antara individu
dengan individu yang lain, dan manusia yang mulia di sisi Allah SWT adalah
manusia yang menghargai dan menghormati keberagaman budaya dan tidak memaksakan
budaya yang hanya diyakini oleh diri sendiri.
2.
Penumbuhan
Nilai Karakter Peserta Didik
Penumbuhan berasal
dari kata tumbuh,
yang dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan “timbul (hidup) dan bertambah besar
atau sempurna”.[15] Penumbuhan
dalam hal ini yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan nilai-nilai karakter
yang ada pada diri peserta didik melalui proses pembelajaran berbasis budaya. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia karakter diartikan sebagai “tabiat; sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain;
watak”.[16] Menurut Haedar
Nashir bahwa “karakter artinya perilaku yang baik, yang membedakan dari tabiat
yang dimaknai dengan perilaku yang buruk".[17] Berdasarkan
hal tersebut dapat dipahami bahwa nilai karakter lebih dekat kepada
perilaku-perilaku yang baik.
Menurut Silfia Hanani, salah satu Reformasi pendidikan dalam era
otonomi daerah yang sangat terasa adalah pendidikan karakter untuk membangun
manusia sebagai makhluk yang manusiawi dan berkeadaban.[18] Hal ini
menunjukkan bahwa melalui pendidikan karakter merupakan salah satu upaya
mendidik peserta didik yang memiliki adab yang baik atau dapat disebut dengan
manusia yang berbudaya.
Nilai karakter tumbuh pada diri peserta didik agar memiliki akhlak
mulia dan berbudi pekerti yang baik. Beberapa nilai karakter peserta didik yang
harus dikembangkan secara substansi terdapat dua nilai, yakni nilai dasar
kehidupan dan nilai perilaku.[19] Untuk memahami
hal tersebut, berikut ini akan diungkap lebih terurai lagi.
a.
Nilai
dasar kehidupan
1)
Pandangan
hidup, adalah konsep nilai yang dimiliki seseorang atau kelompok orang mengenai
kehidupan;
2)
Iman
dan Taqwa, merupakan fondasi nilai yang penting, lebih-lebih bagi orang yang
mengaku beragama.
b.
Nilai
perilaku
1)
Jujur,
lurus hati, tidak berbohong, tidak curang;
2)
Berani,
merupakan sifat manusia yang mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri
yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya;
3)
Amanah,
sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain;
4)
Adil,
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, dan tidak
sewenang-wenang;
5)
Bijaksana,
selalu menggunakan akal budinya, pandai dan mahir;
6)
Tanggung
jawab, kesadaran dalam diri sendiri untuk melaksanakan tugas atau kewajiban;
7)
Disiplin,
tata tertib atau ketaatan (kepatuhan) pada peraturan;
8)
Mandiri,
keadaan dapat berdiri sendiri atau tidak bergantung kepada orang lain;
9)
Malu,
perasaan tidak enak terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan cela dan aib, baik
berupa perbuatan atau perkataan;
10) Kasih sayang, perasaan suka, simpati, dan menyayangi terhadap
sesuatu dengan sepenuh hati;
11) Indah, manusia itu mencintai keindahan sebagai wujud dari karakter
harmoni rasa;
12) Toleran, bersifat dan bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,
dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri;
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, 1998. Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Semarang: Asy Syifa’,
Hanani, Silfia,
2013. Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
http://kbbi.web.id/proses diakses 19 April 2017 Jam 20.00 WIB
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Pengembangan Pusat
Kurikulum, 2010. Bahan Pelatihan: Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa. Jakarta: Kemdiknas
Mahfud,
Choirul, 2016. Pendidikan
Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maksum, Ali.
2016. Sosiologi Pendidikan.
Malang: Madani
Nashir, Haedar 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan
Kebudayaan. Yogyakarta: Muti Presindo
Pusat Bahasa, 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:
Depertemen Pendidikan Nasional
Rozak, Abd. dkk. 2010. Kompilasi Undang-undang dan Peraturan
Bidang Pendidikan. Jakarta: FITK Press
Suryana, Yaya dan Rusdiana, 2015. Pendidikan Multikultural
(Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip, Dan Implementasi). Bandung: CV
Pustaka Setia
[1] Abd. Rozak,
dkk. Kompilasi Undang-undang dan Peraturan Bidang Pendidikan. Jakarta:
FITK Press, 2010, hal. 495
[2] Haedar Nashir,
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: Muti
Presindo, 2013, hal. 33
[3] Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Penelitian Pengembangan Pusat Kurikulum, Bahan
Pelatihan: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta:
Kemdiknas, 2010, hal. 4
[4] Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Penelitian Pengembangan Pusat Kurikulum, Bahan
Pelatihan: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, hal. 4
[6] Abd. Rozak,
dkk. Kompilasi Undang-undang dan Peraturan Bidang Pendidikan, hal.
[7] Yaya Suryana
dan Rusdiana. Pendidikan Multikultural (Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip, Dan Implementasi). Bandung: CV
Pustaka Setia, 2015, hal. 84
[8] Yaya Suryana
dan Rusdiana. Pendidikan Multikultural (Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip, Dan Implementasi), hal. 84
[9] Yaya Suryana
dan Rusdiana. Pendidikan Multikultural (Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip, Dan Implementasi), hal. 88
[10] Yaya Suryana
dan Rusdiana. Pendidikan Multikultural (Suatu Upaya Penguatan Jati Diri Bangsa Konsep, Prinsip, Dan Implementasi), hal. 88
[11] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016,
hal. 177-178
[12] Choirul
Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016,
hal. 187
[13] Ali Maksum, Sosiologi
Pendidikan. Malang: Madani, 2016, hal. 252
[14] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV Asy Syifa’, 1998,
hal. 412
[15] Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia, hal. 1558
[16] Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia, hal. 639
[17] Haedar Nashir,
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Kebudayaan, hal. 10
[18] Silfia Hanani,
Sosiologi Pendidikan Keindonesiaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013,
hal. 108
[19] Haedar Nashir,
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Kebudayaan, hal. xiv
[20] Haedar Nashir,
Pendidikan Karakter Berbasis Agama dan Kebudayaan, hal. 64-95