PEMBELAJARAN
DENGAN PENDEKATAN
KONTEKSTUAL
(PK)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh
faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang
cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan
harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidika nasional.
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui
penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan
dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu,
pendidikan harus adaptif terhadap perubahan zaman.
Memasuki Abad ke-21 ini, keadaan SDM kita sangat
tidak kompetitif. Menurut catatan Human Development Report Tahun 2003
versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber
Daya Manusia lndonesia berada jauh di bawah Filipina (85), Thailand (74),
Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28).
Organisasi internasional yang lain juga menguatkan hal itu. lnternational
Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD
lndonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Sementara itu, Third
Matemilhics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil
pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan matematika siswa SMP kita
berada di urutan ke-34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di urutan
ke-32 dari 38 negara. Jadi, keadaan pendidikan kita memang memprihatinkan.
Untuk itu, pembaruan pendidikan harus terus dilakukan.[1]
Selama ini hasil pendidikan hanya tampak dari
kemampuan siswa menghapal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat
hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya
mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya.
Pertanyaannya, bagaimana pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana
fakta-fakta saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan
tersebut dalam situasi baru? Hal itu disadari benar oleh pemerintah.
Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu
menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya
dalam kehidupan nyata. Hal ini karena pemahaman konsep akademik yang mereka
peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan
praktis kehidupan mereka, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Pembelajaran
yang selama ini mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian
rentetan topik atau pokok bahasan, tetapi tidak diikuti dengan pemahaman atau
pengertian yang mendalam, yang bisa diterapkan ketika mereka berhadapan dengan
situasi baru dalam kehidupannya.
Selanjunya Abdul Rahman (2000) juga memberikan
alasan-alasan mengapa pembelajaran kontekstual dikembangkan pada saat ini yaitu
sebagai beikut:
1. Penerapan konteks
budaya dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman guru, dan buku teks
akan mendorong sebagian besar siswa untuk tetap tertarik dan terlibat dalam
kegiatan pendidikan,
2. Penerapan konteks
sosial dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman, dan buku teks yang
dapat meningkatkan kekuatan masyarakat memungkinkan banyak anggota masyarakat
untuk mendiskusikan berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat,
3. Penerapan konteks
personal yang dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, akan membantu lebih
banyak siswa untuk secara penuh terlibat dalam kegiatan pendidikan dan
masyarakat,
4. Penerapan konteks
ekonomi akan berpengaruh terhadap pehingkatan kesejahteraan social,
5. Penerapan konteks
politik dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang berbagai isu yartg dapat
berpengaruh terhadap masyarakat.[2]
Berdasarkan hal
tersebut di atas dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengemukakan dalam
bentuk makalah dengan judul “Pembelajaran
dengan Pendekatan Kontekstual” dengan harapan dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya.
B.
Pokok
Permasalahan
Berdasarkan
uraian di atas dengan memperhatikan silabus mata kuliah, maka yang menjadi
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hakekat
pendekatan kontekstual?
2. Apa yang menjadi landasan
pemikiran dan teori pendekatan kontekstual?
3. Bagaimana mengaplikasi
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran?
4. Bagaimana Strategi
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual?
5.
Bagaimana
perencanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual?
C.
Tujuan
Penulisan
Dengan pokok
permasalahan yang telah dirumuskan di atas, yang menjadi tujuan dalam penulisan
makalah ini selain memenuhi tugas mata kuliah juga bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui
hakekat pendekatan kontekstual,
2. Untuk mengetahui
landasan pemikiran dan teori pendekatan kontekstual,
3. Untuk mengetahui
aplikasi pendekatan kontekstual dalam pembelajaran,
4. Untuk mengetahui
strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual,
5. Untuk mengetahui
perencanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat
pendekatan kontekstual
Pengembangan pembelajaran kontekstual merupakan peningkatan
kinerja kelas. Dengan kelas yang hidup diharapkan menghasikan output yang
bermutu tinggi. Dalam suatu pembelajaran, pendekatan memang bukan segala galanya.
Seperti yang digambarkan oleh Akhmad Sudrajat
posisi pendekatan dalam proses pembelajaran adalah:
Gambar 1
Dari
gambar di atas dalam suatu pembelajaran, pendekatan memang bukan segalagalanya.
Masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran.
Faktor-faktor tersebut antara lain kurikulum yang menjadi acuan dasarnya,
program pengajaran, kualitas guru/materi pembelajaran, strategi pembelajaran, sumber
belajar; dan teknik/bentuk penilaian. Ini berarti pendekatan hanyalah salah
satu faktor saja – dari sekian banyak faktor – yang perlu mendapatkan perhatian
dalam keseluruhan pengelolaan pembelajaran. Walaupun demikian, penetapan pendekatan
tertentu dalam hal ini pendekatan kontekstual dalam suatu pembelajaran dirasa
penting karena dua hal, yaitu:
1. Penentuan
isi program, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, sumber belajar, dan
teknik/bentuk penilaian harus dijiwai oleh pendekatan yang dipilih.
2. Salah satu
acuan untuk menentukan keseluruhan tahapan pengelolaan pembelajaran adalah
pendekatan yang dipilih.[4]
Dewasa
ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di Negara-negara maju dengan
berbagai nama. Di negeri Belanda berkembang apa yang disebut dengan Realistic Mathematics Education (RME) yang menjelaskan bahwa pembelajaran
matematik harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Di Amerika berkembang
apa yang disebut Contextual Teaching and
Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran
dengan kehidupannya dan memeotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang
dipelarinya dengan kehidupan mereka. Sementara itu di Michingan juga berkembang
Connected Mathematics Project (CMP)
yang bertujuan mengintegrasikan ide matematika kedalam konteks kehidupan nyata
dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelarinya dengan baik dan mudah.[5]
Pembelajaran
kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata
siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan
hal tersebut landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi
belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan
atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau
proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
Dari
uraian di atas dan dari beberapa definisi tentang pembelajaran kontekstual yang
dimaksud dengan pembelajaran kontekstual atau CTL adalah konsep belajar dimana guru menghadirka dunia nyata kedalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh
pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit-demi sedikit, dan
dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah
dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.[6]
Dari
pengertian di atas Nurhadi (2007) juga mengemukakan beberapa pernyataan kunci yang
merupakan penjelasan, yaitu:
1.
Pembelajaran
kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan konten mata
pelajaran dengan dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan
dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan warga
Negara.
2.
Pembelajaran
kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas,
dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai
macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan
masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.
3. Siswa belajar tidak
dalam proses seketika. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh
sedikit-demi sedikit, berangkat dari pengetahuan (schemata) yang dimiliki
sebelumnya,
4. Kemajuan belajar
siswa diukur dari proses, kinerja, dan produk, berbasis pada prinsip authentic-assessment.[7]
Selanjutnya pembelajaran kontekstual memiliki
beberapa karakteristik yang dikemukakan oleh Johnson (2002) yaitu sebagai
beikut:
1. Melakukan hubungan
yang bermakna (making meaningful connections).
Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam
mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau
bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing),
2. Melakukan kegiatan-kegiatan
yang signifikan (doing significant work).
Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada
dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat,
3.
Belajar
yang diatur sendiri (Self-regulated
learning). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada
urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada
produknya/hasilnya yang sifatnya nyata,
4. Bekerja sama (collaborating). Siswa dapat bekerja
sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu
mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi,
5.
Berpikir
kritis dan kreatif (critical and creative
thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi
secara kritis dan kreatifl dapat menganalisis, membuat sintesis, rnemecahkan
masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti,
6.
Mengasuh
atau memelihara pribadi siswa (nurturing the
individual). Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki
harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa
tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan
juga orang dewasa.
7.
Mencapai
standar yang tinggi (reaching high standards).
Siswa mengenal dan mencapai sandar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan
memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan siswa cara mencapai apa
yang disebut “excellence”,
8.
Menggunakan
penilaian autentik (using authentic assessment). Siswa menggunakan
pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna,
Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademik yang telah mereka
pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, penddikan, matematika, dan pelajaran
bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau
membuat penyajian perihal emosi manusia.[8]
Kontektual
merupakan salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar
dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses
pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya
untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya
dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala
situasi belajar. Pertanyaannya apakah yang dimaksud kontek itu?
- Konteks Tujuan, Tujuan apa yang akan dicapail?
- Konteks Isi, Materi apa yang akan diajarkan?
- Konteks Sumber , Sumber belajar bagaimana yang bisa
dimanfaatkan?
- Konteks Target Siswa, Siapa yang akan belajar?
- Konteks Guru, Siapa yang akan mengajar? Bagaimana
kualitasnya?
- Konteig Metode, Strategi belajar apa yang cocok diterapkan?
- Konteks Hasil, Bagaimana hasil pembelajaran akan diukur?
- Konteig Kematang, Apakah siswa telah siap dengan hadirnya buah
konsep atau pengetahuan baru?
- Konteks Lingkungan, Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa
belajar?[9]
B. Landasan pemikiran
dan teori pendekatan kontekstual
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori
belajar yang mendasari filosofi pembelajaran kontekstual, yakni sebagal berikut:
- Proses
Belajar
a. Belajar tidak hanya
sekadar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka
sendiri.
b. Anak belajar dari
mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan
bukan diberi begitu saja oleh Guru
c. Para ahli sepakat bahwa
pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan
pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subjek matter),
d. Pengetahuan tidak
dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yeng terpisah; tetapi
mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan,
e. Manusia mempunyai
tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru,
f. Siswa perlu
dibiasakan mememcahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
dan bergelut dengan ide-ide,
g. Proses belajar dapat
mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan
perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu
dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi
struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
- Transfer
belajar
a. Pembelajaran
kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat
diterapkan/ditransfer dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dan dari
suatu konteks ke konteks lain. Lee (1999) mendefinisikan transfer adalah
kemampuan untuk berfikir dan berargumentasi tentang situasi baru melalui
penggunaan pengetahuan awal, dan berkonotasi ’negatif’ jika pengetahuan awal
secara nyata mengganggu proses belajar.
b. Siswa belajar dari mengalami
sendiri, bukan dari 'pemberian orang lain',
c. Keterampilan dan
pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit). sedikit demi
sedikit,
d. Penting bagi siswa
tahu 'untuk apa' ia belajar, dan bagaimana' ia menggunakan pengetahuan dan
keterampilan itu.
- Siswa
sebagai pembelajar
a. Manusia mempunyai
kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai
kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru,
b. Strategi belajar itu
Penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu . yang baru. Akan tetapi, untuk
hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting,
c. Peran orang dewasa
(guru) memebantu menghubungkan antara ’yang baru’ dan yang sudah diketahui,
d. Tugas guru
memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk
menerapkan strategi mereka sendiri.
- Pentingnya
lingkungan belajar
a. Belajar efekif itu
dimulai dari lingkungan belajar yarg berpusat pada siswa. Dari "guru akting
di depan kelas, siswa menonton" ke "siswa akting bekerja dan
berkarya, guru mengarahkan",
b. Pengajaran harus
berpusat pada 'bagaimana cara' siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.
Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya,
c. Umpan balik amat
penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar,
d. Menumbuhkan komunitas
belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.[10]
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di
dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi
yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual
siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan ini pendekatan pengajaran kontekstual
harus menekankan pada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai fokus pembelajaran
kontekstual seperti yang dikemukakan oleh Nurhadi (2003) sebagai berikut.
- Belajar
berbasis masalah (Problem-Based Learning), yaitu suatu pendekatan
pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilirn pemecahan
masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari
materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk
pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari
berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan
inforrnasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan
mempresentasikan penemuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001).
- Pengajaran autentik
(Authentic lnstruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan
siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan
berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan
nyata,
- Belajar
berbasis lnquiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi
pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan
untuk pembelajaran bermakna,
- Belajar
berbasis proyek/tugas (Project-Based Learning) yang membutuhkan
suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa
(kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah
autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan
melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa
untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk)
pembelajarannya, dan meng-kulminasikannya dalam produk nyata (Buck
Institue for Education, 2001),
- Belajar berbasis
kerja (Work-Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan
pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk
mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi
tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat
kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran
untuk kepentingan siswa (Smith, 2001),
- Belajar berbasis
jasa-layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan
metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan
suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan tersebut,
jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran
akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis
dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi
kebutuhan di dalam masyarakat melalui poyek/tugas terstrukur dan kegiatan
lainnya (McPherson, 2001),
- Belajar kooperatif
(Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui
penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi
belajar dalam mencapai tujuan belajar (Holubec, 2001).[11]
Agar proses pengajaran kontekstual lebih
efektif yang dilakukan oleh guru, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai
berikut:
- Mengkaji konsep dan kompetensi dasar
yang akan dipelajari olehr siswa,
- Memahami latar belakang dan pengalaman
hidup siswa rnelalui process pengkajian secara saksama,
- Mempelajari lingkungan sekolah dan
tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep
dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual,
- Merancang pengajaran dengan mengaitkan
konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang
dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka,
- Melaksanakan pengajaran dengan selalu
mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan
pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang
dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa
didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa
terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya,
- Melakukan penilaian terhadap pemahamah
siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan
pembelajaran dan pelaksanaannya.[12]
Sementara
itu, Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan
lima strategi
bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat dengan REACT, yaitu:
- Relating
(Menghubungkan). Relating adalah belajar dalam suatu konteks sebuah
pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa.
Guru menggunakan relating ketika mereka mencoba menghubungkan konsep baru
dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa,
- Experiencing (mencoba). Pada experiencing mungkin saja mereka tidak
mempunyai pengalaman langsung berkenaan dengan konsep tersebut. Akan
tetapi, pada bagian ini guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on
kepada siswa sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut siswa
dapat membangun pengetahuannya,
- Applying (mengaplikasi). Strategi applying sebagai
belajar dengan menerapkan konsep-konsep. Kenyataannya, siswa
mengaplikasikan konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas
penyelesaian masalah yang hands-on dan proyek-proyek. Guru juga dapat
memotivasi suatu kebutuhan untuk memahami konsep dengan memberikan latihan
yang realistis dan relevan,
- Cooperating (bekerja sama). Bekerja sama-belajar
dalam konteks saling berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan pelajar
lainnya adalah strategi instruksional yang utama dalam pengajaran
kontekstual. Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk
mempelajari suatu bahan pelajaran, hal ini juga secara konsisten berkaitan
dengan penitikberatan pada kehiupan nyata dalam pengajaran kontekstual,
- Transferring (proses transfer ilmu). Transfering
adalah strategi mengajar yang kita definisikan sebagai menggunakan pengetahuan
dalam sebuah konteks baru atau situasi baru suatu hal yang belum
teratasi/diselesaikan dalam kelas.[13]
Selain strategi yang harus diperhatikan
dalam menerapkan pembelajaran kontekstual, isi silabus berbasis kontekstual
juga harus memiliki konteks dengan kegunaannya dalam kehidupan. Dengan
persyaratan silabusnya adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan
Motivasi. Kornteks
dapat dipilih untuk meningkatkan motivasi siswa. Kontek kehidupan nyata
yang menarik siswa SLTP bervariasi karena katerkaitannya dengan usia,
jenis kelamin, kelompok sosio-konomi dan latar belakanya budaya. Dunia
siswa usia 16 tahun umumnya sangat berbeda dengan sebagian besar siswa
berusia 13 tahun, Banyak siswa yang lebih menyukai isu dan konteks yang
terkait pada keadaan saat ini daripada yang terkait dengan kemungkinan
pengalaman di masa depan. Memilih konteks untuk meningkatkan motivasi
dapat dilakukan dengan cara melibatkan siswa dalam penyusunan perencanaan
pembelajarannya sendiri. Jika guru memiliki suatu kejelasan ide mengenai
arah program pembelajaran, siswa dapat diberi kebebasan untuk menyesuaikan
bahan dan program tersebut pada suatu arah dan konteks dari pilihannya
sendiri. Jika siswa ikut berpartisipasi dalam pembuatan perencanaan
pengalaman belajamya sendiri, motivasi siswa akan meningkat dan terjaga
dengan baik,
- Meningkatkan
Pemahaman Konsep. Konteks
harus dipilih untuk membantu siswra mengembangkan pemahaman konsep. Siswa
akan mengembangkan pemahrmannya dengan baik jika mereka dapat secara mudah
mengaitkan antara sesuatu yang telah mereka kenal dengan pengetahuan dan
pemahaman yang baru atau yang belum dikenal. Pentingnya pembuatan hubungan
dalam memahami materi yang abstrak tidak dapat dibesar-besarkan.
Keberhasilan dalam belajar ditandai oleh penyediaan lingkungan belajar yang
membantu siswa membuat hubungan-hubungan tersebut. Siswa selanjutnya mampu
menyadari adanya saling hubungan antar materi dan perannya dalam situasi
kehidupan nyata,
- Meningkatkan
Keterampilan Komunikasi. Siswa datang di sekolah dengan pengetahuan yang diperoleh dari anggota
keluarga, masyarakat, media, teman dan dari lingkungannya. Siswa SLTP juga
memiliki pengalaman enam tahun pendidikan di SD. Semua hal tersebut telah
membentuk cara berpikir siswa. Sering siswa akan memiliki ide yang telah
berurat berakar secara kuat yang benar-benar berbeda dari prinsip yang
berlaku secara umum. Siswa tidak secara alami membangun ide yang benar
meskipun suatu variasi strategi seperti penyelesaian masalah, pengujian,
peramalan dan lain-lain digunakan dalam kelas. lni menunjukkan bahwa
komunikasi dalam segala bentuknya adalah penting dalam kelas. Bacaan,
tulisan dan ahivitas tangan adalah tidak cukup untuk menangani siswa
secara penuh. Tugas guru adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membangun ide yang.benar melalui penyediaan suatu lingkungan belajar yang
memiliki suatu hubungan logis dari bagian-bagian komponen. Ada kebutuhan
untuk tawar-manawar makna dari ide-ide dan kata-kata antara siswa, teman sebaya
dan gurunya,
- Meningkatkan
Penguasaan Materi. Penguasaan
materi tidak hanya penguasaan fakta. Penguasaan materi juga berkenaan
dengan sikap terhadap belajar dan sikap terhadap pandangan yang
bertentangan. Penguasaan materi harus membantu siswa untuk menghubungkan
pengetahuan teknik terhadap nilai-nilai pribadi. Hal ini juga memungkinkan
siswa membuat keputusan berdasarkan pemikiran yang mendalam dan melakukan
diskusi bersama orang lain yang berbeda pandangan,
- Meningkatkan
Kontribusi Pribadi dan Sosial. Pendidikan harus merupakar suatu proses yang dapat meningkatkan perkembangan
pribadi maupun masyarakat, pengentahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.
Sekolah tidak dapat dikatakan melaksanakan pendidikan jika tidak melakukan
orientasi kritis secara sosial. Tanpa orientasi itu sekolah hanya melatih
siswa untuk berpartisipasi dalam struktur masyarakat yang telah ditetapkan.[14]
C. Aplikasi
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:
- Constructivisme
(konstruktivisme, membangun, membentuk).
Komponen ini merupakan
landasan filosofis (berpikir) pendekatan CTL. Pembelajaran yang berciri
konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif,
kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan dan pengetahuan terdahulu dan
dari pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta,
konsep, dan kaidah yang siap dipraktikkannya. Manusia harus mengkonstruksinya
terlebih dahulu pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui pengalaman
nyata. Karena itu, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada
dirinya.
Atas dasar pengertian
tersebut, prinsip dasar konstruktivisme yang dalam praktik pembelajaran harus
dipegang guru- adalah sebagai berikut:
a. Proses
pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran,
b. Informasi bermakna
dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih penting daripada informasi verbalistis,
c. Siswa
mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan menerapkan idenya
sendiri',
d. Siswa diberikan
kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam belajar,
e. Pengetahuan
siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri,
f. Pemahaman siswa
akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila diuji dengan pengalaman
baru,
g. Pengalaman
siswa bisa dibangun secara asimilasi (yaitu pengetahuan baru dibangun dari
struktur pengetahuan yang sudah ada) maupun akomodasi (yaitu struktur
pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya
pengalaman baru).
- Questioning
(bertanya).
Komponen ini merupakan
strategi pembelajaran CTL. Belajar dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai upaya
guru yang bisa mendorong siswa untuk mengetahui mengarahkan siswa untuk memperoleh
informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Pada
sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemerolehan pengetahuan seseorang selalu
bermula dari bertanya.
Atas dasar pengertian
tersebut, prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran
berkaitan dengan komponen bertanya adalah sebagai berikut:
a. Penggalian informasi
lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya,
b. Konfirmasi terhadap
apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui tanya jawab,
c. Dalam rangka penambahan
atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi (baik kelompok maupun
kelas),
d. Bagi guru, bertanya
kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa,
e. Dalam pembelajaran
yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
1) menggali informasi,
2) mengecek pemahaman
siswa,
3) membangkitkan respons
siswa,
4) mengetahui kadar keingintahuan
siswa,
5) mengetahui hal-hal
yang diketahui siswa,
6) memfokuskan perhatian
siswa pada sesuai yang dikehendaki guru,
7) membangkitkan lebih banyak
pertanyaan bagi diri siswa, dan
8) menyegarkan
pengetahuan siswa.
- Inquiry
(menyelidiki, menemukan).
Komponen ini menemukan
merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap
fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan
temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian, pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta,
tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.
Atas pengertian tersebut,
prinsip-prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiry
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan dan
keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri,
b. Informasi yang
diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data
yang ditemukan sendiri oleh siswa,
c. Siklus inkuiri adalah
observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesip),
pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclussion),
d. Langkah-langkah
kegiatan inkuiri:
1) merumuskan masalah,
2) mengamati atau
melakukan observasi,
3) menganalisis dan
menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain,
4) mengomunikasikan atau
menyajikan hasilnya pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens yang
lain).
- Learning
community (masyarakat belajar).
Konsep ini menyarankan bahwa
hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hal ini
berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok,
dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar
kelas. Karena itu, pembelajaran yang dikemas dalam berdiskusi kelompok yang anggotanya
heterogen, dengan jumlah yang bervariasi, sangat mendukung komponen learning community
ini.
Berikut disajikan
prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan, pembelajaran
yang berkonsentrasi pada komponen learning community.
a. Pada dasarya hasil
belajar diperoleh dari kerja sama atau sharing dengan pihak lain,
b. Sharing terjadi
apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi,
c. Sharing terjadi
apabila ada komunikasi dua atau multiarah,
d. Masyarakat belajar
terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa
pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang
lain,
e. Yang terlibat dalam
masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.
- Modelling
(pemodelan).
Komponen pendekatan CTL ini
menyarankan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti
dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian
contoh tentang, misalnya, cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya,
mempertonton suatu penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami
siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa
ditunjukkan modelnya atau contohnya.
Prinsip-prinsip komponen
modelling yang bisa diperhatikan guru ketika melaksanakan pembelajaran adalah
sebagai berikut:
a. Pengetahuan dan keterampilan
diperoleh dengan mantap apabila ada model atau contoh yang bisa ditiru,
b. Model atau contoh
bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari ahlinya,
c. Model atau contoh
bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil karya, atau model penampilan.
- Reflection
(refleksi atau umpan barik).
Komponen yang merupakan
bagian terpenting dari pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah perenungan kembali
atas pengetahuan yang baru dipelajari. Dengan memikirkan apa yang baru saja
dipelajari, menelaah dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman
yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika
diperlukan, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan
pengayaan atau bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Kesadaran semacam ini penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka
terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.
Prinsip-prinsip dasar yang
perlu diperhatikan guru dalam rangka penerapan komponen refleksi adalah sebagai
berikut:
a. Perenungan atas
sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan pengayaan atas pengetahuan sebelumnya,
b. Perenungan merupakan
respons atas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diperolehnya,
c. Perenungan bisa
berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang baru diterima, membuat
catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atau unjuk kerja.
- Authentic assessment
(penilaian yang sebenarnya).
Komponen yang merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual adalah
proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi
tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman
siswa ini perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya
proses relajar siswa. Dengan demikian, penilaian autentik diarahkap pada proses
mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau
dalam proses pembelaiaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil
pembelajaran.
Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip dasar yang
perlu menjadi perhatian guru ketika menerapkan komponen penilaian autentik
dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
a.
Penilaian
autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan
pengalaman belajar siswa,
b.
Penilaian
dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil,
c.
Guru
menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluators) yang dapat
merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang
mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa
dalam berbagai konteks belajar,
d.
Penilaian
autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian diri
(self assessment) dan penilaian sesama (peer assessment).
e.
Penilaian
autentik mengukur keterampilan dan performansi dengan kriteria yang jelas (performance-based),
f.
Penilaian
autentik dilakukan dengan berbagai alat secara berkesinambungan sebagai bagian
integral dari proses pembelajaran,
g.
Penilaian
autentik dapat dimanfaatkan oleh siswa, orang tua, dan sekolah untuk
mendiagnosis kesulitan belajar, umpan balik pembelajaran, dan/atau untuk
menentukan prestasi siswa.[15]
Untuk
lebih jelas bagaimana keterkaitan ketujuh komponen ini dapat dilihat pada
gambar 2.
Gambar 2
Bagan Keterkaitan antar Komponen Pembelajaran Kontekstual[16]
Untuk gambaran sederhana penerapan ketujuh
kompenen pembelajaran kontekstual dapat dilihat langkah-langkah sebagai
berikut:[17]
1.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih
bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya!
|
KOMPONEN KONSTRUKTIVISME
Sebagai Filosofi
|
|
2.
Laksanakan kegiatan inkuiri untuk mencapai kompetensi
yang diinginkan disemua bidang studi!
|
KOMPONEN INKUIRI
Sebagai Stategi Belajar
|
|
3.
Bertanya sebagai alat belajar: kembangkan sifat ingin
tahu
siswa dengan bertanya! |
KOMPONEN BERTANYA
Sebagai keahlian dasar yang dikembangkan
|
|
4.
Ciptakan ’masyarakat belajar’ (belajar dalam
kelompok-kelompok)!
|
KOMPONEN MASYARAKAT BELAJAR
Sebagai penciptaan lingkungan belajar
|
|
5.
Tunjukkan ’model’ sebagai contoh pembelajaran!
(benda-benda, guru, siswa lain, karya inovasi, dll.
|
KOMPONEN PEMODELAN
Sebagai acuan pencapaian kompetensi
|
|
6.
Lakukan refleksi diakhir pertemuan agar siswa ’merasa’
bahwa hari ini mereka belajar sesuatu!
|
KOMPONEN REFLEKSI
Sebagai langkah akhir dari belajar
|
|
7.
Lakukan penilaian yan sebenarnya: dari berbagai sumber
dan dengan berbagai cara!
|
KOMPONEN PENILAIAN YANG SEBENARNYA
|
Untuk menerapkan pembelajaran kontestual ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism)
Dalam pembelajaran kontekstual belajar lebih
sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan
ilmu pengetahuan mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Dan tugas pendidik
tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi kedalam benak siswa,
akan tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep perting dan sangat
berguna tertanam kuat dalam benak siswa. Proses tersebut dapat digambarkan
dengan gambar 3 berikut:
Gambar 3
Dari gambar di atas proses pembelajaran
konstruktivistik yang dimulai dari kotak bawah yang menjelaskan bahwa siswa
lahir dengan pengetahuan yang masih kosong. Dengan menjalani kehidupan dan
berinteraksi dengan lingkungannya, siswa mendapatkan pengetahuan awal yang
diproses melalui pengalaman-pengalaman belajar untuk memperoleh pengetahuan
baru.
Disamping itu pula akan mengemukakan perbedaan antara
pembelajaran kontekstual yang berpijak pada pandangan konstruktivisme dengan
pembelajaran tradisional yang berpijak pada pandangan behavioristik-objektivis,
yaitu:
No
|
Pembelajaran
Kontekstual
|
Pembelajaran
Tradisional
|
1.
|
Siswa secara ektif telibat
dalam
proses pembelajaran
|
1.
Siswa adalah penerima informasi secara pasif.
|
2.
|
Siswa belajar dari
teman melalui
kerja kelompok,
diskusi, saling
mengoreksi.
|
2.
Siswa belajar secara individual.
|
3.
|
Pembelajaran dikaitkan
dengan
kehidupan nyata dan
atau masalah yang disimulasikan,
|
3.
Pembelajalan sangat abstrak dan
teoretis
|
4.
|
Perilaku dibangun
atas kesadaran diri
|
4.
Perilaku dibangun atas kebiasaan.
|
5.
|
Keterampilan
dikembangkan atas dasar pemahaman.
|
5.
Keterampilan dikembangkan atas
dasar latihan.
|
6.
|
Hadiah untuk perilaku
baik adalah kepuasan diri
|
6.
Hadiah untuk perilaku baik
adalah pujian atau nilai (angka) rapor.
|
7.
|
Seseorang tidak
melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan
|
7.
Seseorang tidak melakukan yang jelek
karena dia takut hukuman.
|
8.
|
Bahasa diajarkan dengan
pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks
nyata.
|
8.
Bahasa diajarkan dengan
pendekatan struktural: rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan
(drill).
|
9.
|
Pemahaman rumus
dikembangkan atas dasar skemala yang sudah ada dalam diri siswa.
|
9.
Rumus itu ada di luar diri
siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan.
|
10.
|
Pemahaman rumus itu
relatif berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya, sesuai dengan skemata
siswa (ongoing process of development).
|
10.
Rumus adalah kebenaran absolut
(sama untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pemahaman humus yang
salah atau pemahaman rumus yang benar.
|
11.
|
Siswa menggunakan
kemampuan berpikir kitis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses
pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses
pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
|
11.
Siswa secara pasif menerima
rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan
kontribusi ide dalam proses pembelajaran
|
12.
|
Pengelahuan yang
dimiliki manusia
dikembangkan oleh
manusia itu sendiri.
Manusia
nrenciptakan,atau membangun
pen6etahuan dengan cara
memberi arti
dan memahami pengalamannya.
|
12.
Pentetahuan adalah penangkapan
terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada di luar diri
manusia.
|
13.
|
Karena ilmu pengetahuan
itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri,sementara manusia melalu
mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang
(tentative & incompletel).
|
13.
Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan
bersifat final.
|
14.
|
Siswa diminta bertanggung
jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing,
|
14.
Guru adalah penentu jalannya proses
pembelajaran
|
15.
|
Penghargaan terhadap
pengalaman siswa sangat diutamakan.
|
15.
Pembelajaran tidak memperhatikan
pengalaman siswa.
|
16.
|
Hasil belejar diukur
dengan berbagai
cara: proses
bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, dan lain-lain.
|
16.
Hasil belejar diukur hanya
dengan tes
|
17.
|
Pembelajaran terjadi diberbagai
tempat kornteks, dan setting
|
17.
Pembelajaran hanya terjadi dalam
kelas
|
18.
|
Penyesalan adalah
hukuman dari perilaku jelek.
|
18.
Sanksi adalah hukuman dari perilaku
jelek
|
19.
|
Perilaku baik bedasar motivasi
intrinsik
|
19.
Perilaku baik berdasarkan
motivasi ekstrinsik
|
20.
|
Seseorang berperilaku
baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat
|
20.
Seseorang beperilaku baik kerena
dia terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang
menyenangkan
|
2. Menemukan (Inquiry)
Inkuiri pada dasarnya adalah suatu ide yang komplek,
yang berarti banyak hal, bagi banyak orang, dalam banyak konteks (a complex
idea that means many things to many people in many contexts). lnkuiri adalah bertanya.
Bertanya yang baik, bukan asal bertanya. Pertanyaan harus berhubungan dengan
apa yang dibicarakan. Pertanyaan yang diajukan harus dapat dijawab sebagian
atau keseluruhannya. Pertanyaan harus dapat diuji dan diselidiki secara
bermakna.
Kegiatan inkuiri sebenarnya
sebuah siklus. Siklus itu terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut:
a.
Merumuskan
masalah (dalam mata pelajaran apa pun)
1)
Bagaimanakah
silsilah raja-raja Majapahit? (sejarah)
2)
Bagaimanakah
cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai Kendari? (bahasa
lndonesia)
3)
Ada
berapa jenis tumbuhan menurut bentuk bijinya? (sains)
4)
Kota mana saja yang termasuk kota besar di lndonesia?
(geografi)
b.
Mengumpulkan
data melalui observasi .
1)
Membaca
buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung
2)
Mengamati
dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumbar atau objek yang diamati,
c.
Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan,
gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya
1)
Siswa
membuat besar sendiri,
2)
Siswa
membuat deskripsi sendiri,
3)
Siswa
membuat bagan silsilah raja-raja Majapahit sendiri,
4)
Siswa membuat
penggolongan tumbuh-tumbuhan sendiri,
5)
Siswa membuat
esai atau usulan kepada pemerintah tentang berbagai masalah di daerahnya
sendiri, dan seterusnya.
d.
Mengkomunikasikan
atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain
1)
Karya
siswa disampaikan teman sekelas atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan
2)
Bertanya
jawab dengan teman
3)
Memunculkan
ide-ide baru
4)
Melakukan
refleksi
5)
Menempelkan
gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di dinding kelas, dinding sekolah,
majalah dinding, majalah sekolah, dan sebagainya.[19]
Jika digambarkan skilus
inkuiri dapat dilihat seperti gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4
3. Bertanya (questioning)
Sebagaimana disebut terdahulu bahwa bertanya
(questioning) merupakan induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari
pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran.
Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, meng-konfirmasi, mengapersepsi,
mengarahkan/menggiring, mengaktifkan skemata, men-judge, mengklarifikasi,
memfokuskan, dan menghindari kesalahpahaman.
Menggunakan pertanyaan dalam pembelajaran berbasis
inkuiri sangatlah mendasar. Guru menggunakan pertanyaan untuk menuntun siswa
berpikir, bukannya penjejalan berbagai informasi penting yang harus dipelajari
siswa. Guru menggunakan pula pertanyaan untuk membuat penilaian secara kontinyu
terhadap pemahaman siswa.
Jenis konteks yang dapat digunakan guru untuk
menerapkan teknik bertanya dalam kelas adalah sebagai berikut:
a.
Bertanya
adalah suatu cara untuk masuk dan terlibat dalam hal sesuatu. Bertanya adalah
suatu alat yang digunakan oleh orang yang bertanya untuk memulai dan mempertahankan
interaksi dengan orang lain. Contoh: melakukan suatu percakapan, dan melibatkan
orang lain dalam suatu pembicaraan
b.
Bertanya
adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mendapatkan
informasi. Bertanya dapat dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan informasi
tentang suatu maksud atau oleh ke ingintahuan dan "kebutuhan untuk mengetahui".
Contoh: mewawancarai seorang anggota masyarakat, dan meminta diajari.
c.
Bertanya
adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mengklarifikasi
atau meyakinkan informasi. Contoh: bertanya kepada teman selama kegiatan
pemecahan terhadap suatu masalah, dan berspekulasi tentang hasil suatu
eksperimen.
d.
Bertanya
adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis
dan mengeksplorasi gagasan. Pertanyaan yang kita tanyakan pada diri sendiri dan
orang lain merupakan suatu bagian penting dari proses berpikir dan refleksi
yang kita lakukan. Contoh: merefleksi tentang suatu soal matematika, dan menganalisis
tingkah laku karakter dalam sebuah novel.[21]
4. Masyarakat-belajar (learning community)
Dalam masyarakat-belajar, hasil pembelajaran dapat
diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari
sharing antara teman, antar kelompok dan antara mereka yang tahu ke mereka yang
belum tahu.
Pada dasarnya, learning conmunity atau
masyarakat-belajar itu mengandung arti sebagai berikut:
a.
Adanya
kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman,
b.
Ada kerja sama untuk memecahkan masalah,
c.
Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik
daripada kerja secara individual,
d.
Ada
rasa tansgung jawab kelompok, semua angota dalam kelompok rnempunvai tanggung jawab
yang sama
e.
Upaya
membangun motivasi belajar bagi anak yang belum mampu dapat diadakan,
f.
Menciptakan
situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang mau belajar dengan anak lainnya,
g.
Ada
rasa tanggung jawab dan kerja sama antara anggota kelompok untuk saling memberi
dan menerima,
h.
Ada
fasilitator/guru yang pemandu proses belajar dalam kelompok,
i.
Harus ada komunikasi
dua arah atau multi arah,
j.
Ada
kemauan untuk menerima pendapat yang lebih baik,
k.
Ada
keseediaan untuk menghargai pendapat orang lain,
l.
Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja,
m.
Dominasi siswa-siswa yang pintar perlu
diperhatikan agar yang lambat/lemah bisa pula berperan,
Kegiatan masyarakat belajar ini bisa terjadi apabila tidak
ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan
untuk bertanya, tidak ada pihak menganggap paling tahu, semua pihak mau saling
mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan,
pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap
orang mau belajar dari orang lain, maka setap orang lain bisa menjadi sumber
belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan
pengalaman.
5. Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan
tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan
yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya
untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswanya
melakukan. Pemodelan dapat
berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.
Dengan kata lain, model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara
melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris,
dan sebagainya. Atau, guru memberi contoh cara
mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang "bagaimana
cara belajar".
Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan
satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan milibatkan siswa, seorang siswa
bisa ditunjuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika
kebetulan siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau kontes bahasa Inggris,
siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa 'contoh'
tersebut dikatakan sebagai model, siswa dapat menggunakan model tersebut
sebagai standar kompetensi yang dicapainya.
Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur
asli berbahasa Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi
'model' cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.
6. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru
dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita dilakukan
dimasa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau
pengetahuan yang beru saja diterima.
Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program
pengajaran. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
melakukan refleksi. Realisasinya dapat berupa:
a.
Pernyataan
langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu,
b.
Catatan atau jurnal di buku siswa,
c.
Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari
itu,
d.
Diskusi,
e.
Hasil karya, dan
f.
Cara-cara lain yang ditempuh guru untuk
mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari.[23]
Sebagai contoh perintah guru
yang menggambarkan kegiatan refleksi sebagai berikut:
a.
Bagaimana pendapatmu mengenai kegiatan hari ini?
b.
Hal-hal baru apa yang kalian dapatkan melalui
kegiatan hari ini?
c.
Catatlah hal-hal penting yang kalian dapatkan!
d.
Buatlah komentar di buku catatanmu tentang
pembelajaran hari ini!
e.
Mungkinkah keterampilan yang kalian pelajari hari
ini kalian terapkan di rumah?[24]
7. Penilaian yang sebenarnya (authentic
assessment)
Authentic Assessment adalah prosedur penilaian pada
pembelajaran kontekstual. Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri
penilaian autentik adalah sebagai berikut:
a.
Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses,
kinerja, dan produk,
b.
Dilaksanakan selama dan sesudah proses
pembelajaran berlangsung,
c.
Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber,
d.
Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian,
e.
Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus
mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus
dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari,
f.
Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan
dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas). [25]
Intinya,
dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab adalah "Apakah
anak-anak belajar?', bukan 'Apa yang sudah diketahui". Jadi, siswa dinilai
kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak melulu dari hasil ulangan tulis.
Prinsip utama asesmen dalam pembelajaran kontekstual tidak hanya rnenilai apa
yang diketahui siswa, tetapi juga menilai apa yang dapat dilakukan siswa.
Penilaian itu mengutamakan penilaian kualitas hasil kerja siswa dalam
menyelesaikan suatu tugas.
D. Strategi
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Dalam Strategi
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini akan diuraikan berbagai strategi
pengajaran yang berasosiasi dengan pendekatan kontekstual, yaitu:
1. Pengajaran berbasis masalah
Pengajaran berbasis masalah (Problem-Based
Learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia
nyata sebagai suatu kontek bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Pengajaran berbasis masalah
digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi
masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar.
Adapun
ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:
a.
Pengajuan pertanyaan atau masalah,
b.
Berfokus pada keterkaitan antar disiplin,
c.
Penyelidikan autentik,
d.
Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya.
Sementara
itu yang menjadi tujuan dalam pengajaran berbasis masalah ini adalah:
a.
Keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan
masalah,
b.
Pemodelan peran orang dewasa,
c.
Pembelajaran yang otonomi dan mandiri
Pengajarn
berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan yang dimulai dengan guru
memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian
dan analisis hasil kerja siswa. Dimana kelima tahapan tersebut adalah:
Tahapan
|
Tingkah
Laku Guru
|
Tahap 1:
Orientasi siswa kepada masalah
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar teribat pada aktivitas
pemecahan masalah yang dipilihnya.
|
Tahap 2:
Mengorganisasi siswa untuk belajar
|
Guru membantu siswa mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Tahap 3:
Membimbing penyelidikan individual dan
kelompok
|
Guru mandorong siswa untuk mengumpulkan informasi
yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya.
|
Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikah hasil karya
|
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka berbagai
tugas dengan temannya.
|
Tahap 5:
Menganalisis dan
mengevaluasi Poses pemecahan masalah
|
Guru membantu
siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan
proses-proses yang mereka gunakan.
|
2. Pengajaran kooperatif
Pembelajaran
kooperatif secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber
belajar bagi bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa. Manusia
adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain. Sifatnya yang individual
maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai
konsekuensi logisnya manusia harus makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi
dengan sesamanya. Karena sama lain saling membutuhkan maka harus ada interaksi
yang silih (saling menyayangi atau saling mencintai). Pembelajaran kooperatif pembelajaran
yang secara sadar dan sengaja menciptakan interaksi saling mengasihi antar
sesama siswa.
Unsur-unsur
dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
a.
Saling ketergantungan positif,
b.
Interaksi tatap muka,
c.
Akuntabilitas individual,
d.
Keterampilan menjalin hubungan antara pribadi
Sementara
yang menjadi perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok
belajar tradisional dapat dikemukakan sebagai berikut:
kelompok belajar kooperatif
|
kelompok belajar
tradisional
|
Adanya saling ketergantungan
positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi
promotif.
|
Guru sering membiarkan
adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok
|
Adanya akuntabilitas
individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap annggota kelompok
dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya
sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang
dapat memberikan bantuan
|
Akuntabilitas individual
sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota
kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya ”enak-enak saja” di atas
keberhasilan temannya yang dianggap "pemborong"
|
Kelompok belajar
heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik dan
sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan
siapa yang dapat memberikan bantuan
|
Kelompok belajar biasanya homogen.
|
Peran guru
dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
a.
Merumuskan tujuan pembelajaran
1) Tujuan akademik
(academic objectives). Tujuan ini dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan
siswa dan analisisn tugas atau analisis konsep,
2) Tujuan keterampilan
berkerja sama (collaborative skill objectives). Tujuan ini meliputi
keterampilan memimpin, berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola
konflik.
b.
Menentukan jumlah kelompok anggota dalam kelompok
belajar.
Jumlah anggota dalam tiap
kelompok belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 siswa. Ada 3
faktor yang menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga fakor
tersebut adalah:
1) taraf kemampuan siswa,
2) ketersediaan bahan,
dan
3) ketersediaan waktu.
Jumlah anggota kelompok
belajar hendaknya kecil agar tiap siswa aktif menjalin kerja sama menyelesaikan
tugas. Ada 3 pertanyaan yang hendaknya dijawab oleh guru saat akan menempatkan
siswa dalam kelompok. Ketiga pertanyaan tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1) Pengelompokan siswa
secara homogen atau heterogen?
2) Bagaimana menempatkan
siswa dalam kelompok?
3) Siswa bebas memilih
teman atau ditentukan oleh guru?
a) Berdasarkan metode
sosiometri,
b) Berdasarkan kesamaan
nomor,
c) Menggunakan teknik
acak berstrata.
c.
Menentukan tempat duduk siswa
d.
Merancang bahan untuk meningkatkan saling
ketergantungan,
e.
Menentukan peran siswa untuk menunjang saling
ketergantungan,
f.
Menjelaskan tugas akademik,
g.
Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan
keharusan bekerja sama,
h.
Menyusun akuntabilitas individual,
i.
Menyusun kerja sama antar kelompok,
j.
Menjelaskan kriteria keberhasilan,
k.
Menjelaskan prilaku siswa yang diharapkan,
l.
Memantau prilaku siswa,
m.
Memberikan bantuan kepada siswa dalam
menyelesaikan tugas,
n.
Melakukan intervensi untuk mengajarkan
keterampilan bekerja,
o.
Menutup pelajaran,
p.
Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar
siswa,
q.
Menilai kualitas kerjasama antar anggota kelompok.
3. Pengajaran berbasis
inkuiri
Pembelajaran
dengan penemuan (inquiry) merupakan satu komponen penting dalam pendekatan
konstruktivistik yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau
pembaruan pendidikan. Dalam pembelajaran dengan penemuan (inkuiri), siswa
didorong untuk belajar sebagian besar melalui katerlibatan aktif mereka sendiri
dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk
memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan
prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Pengajaran
berbasis inkuiri membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi
sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Inkuiri adalah
seni dan ilmu bertanya dan menjawab. Selama proses inkuiri berlangsung, seorang
guru dapat mengajukan suatu pertanyaan atau mendoron g siswa untuk rnengajukan
pertanyaan-perianyaan mereka sendiri. Pertanyaannya bersifat open-ended,
memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki sendiri dan rnereka mencari
jawaban sendiri (tetapi tidak hanya satu jawaban yang benar).
Siklus
inkuiri adalah: (1) Observasi (Observation); (2) Bertanya (Quationing); 3) Mengajukan
dugaan (Hipotesis); (4) Pengumplan data (Data gathering); dan (5) Penyimpulan
(Conclusion).
4. Pengajaran autentik
Pengajaran autentik yaitu
pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks
bermakna.
5. Pengajaran berbasis proyek/tugas
Empat prinsip berikut ini akan
membantu siswa dalam perjalanan mereka menjadi pembelajar mandiri yang efektif,
yaitu sebagai berikut:
a.
Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantrang,
b.
Menganeka ragamkan tugas-tugas,
c.
Menaruh perhatian pada tingkat kesulitan,
d.
Monitor kemajuan siswa
6. Pengajaran berbasis kerja
Pengajaran berbasis kerja
(Work-Based Learning) memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan
siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran
berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di dalam
tempat kerja. Jadi dalam hal ini tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai
aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa (Smith. 2001).
Mengajar siswa di kelas adalah
suatu bentuk pemagangan. Pengajaran berbasis kerja menganjurkan pentransferan
model pengajaran dan pembelajaran yang efektif kepada aktivitas sehari-hari di
kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas komplek maupun membantu
mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan melibatkan siswa dalam kelompok
pembelajaran kooperatif heterogen di mana siswa yang lebih pandai membantu
siswa yang kurang pandai dalam nrenyelesaikan tugas-tugas kompleks tersebut.
7. Pengajaran berbasis jasa layanan
Pengajaran berbasis jasa layanan
memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang masa layanan masyarakat dengan
suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut; jadi
menekankan hubungan antara pengalaman Jasa layanan dan pembelajaran akademis.
Contoh pembelajaran yang berbasis
layanan, misalnya sebagai berikut:
a.
Ada
bencana alam, lalu siswa diajak untuk melaksanakan kegiatan penggalangan dana,
kemudian membantu korban,
b.
Ada
panti asuhan yang memerlukan bantuan, lalu anak diminta untuk melaksanakan
kegiatan membantu panti asuhan,
c.
Ada
tamu yang akan datang ke sekolah, lalu siswa diminta untuk melaksanakan
kegiatan penyambutan,
d.
Ada
teman yang mendapat musibah, lalu siswa diminta membantu,
e.
Ada
fasilitas umum yang rusak dan kotor, lalu siswa mengadakan kegiatan perbaikan dan
pembersihan fasilitas umum.[26]
E. Perencanaan
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Perencanaan pembelajaran atau biasa disebut
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata
pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan
RPP inilah seorang guru (baik yang menyusun RPP itu sendiri maupun yang bukan)
diharapkan bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Karena itu, RPP
harus mempunyai daya terap (aplicable) yang tinggi. Tanpa perencanaan yang
matang, mustahil target pembelajaran bisa tercapai secara maksimal. Pada sisi
lain, melalui RPP pun dapat diketahui kadar kemampuan guru dalam menjalankan profesinya.
Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar format
antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran
kontekstual, yang membedakannya hanya penekanannya. Program pembelajaran
konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas
dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih
menekankan pada skenario pembelajarannya.
Sebagaimana rencana pembelajaran pada umumnya,
rencana pembelajaran berbasis kompetensi melalui pendekatan kontekstual dirancang
oleh guru -yang akan melaksanakan pembelajaran di kelas yang berisi skenario
tentang apa yang akan dilakukan siswanya sehubungan topik yang akan
dipelajarinya. Secara teknis rencana pembelajaran minimal mencakup
komponen-komponen berikut.
1. Standar kompetensi,
kompetensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar.
2. Tujuan pembelajaran.
3. Materi pembelajaran.
4. Pendekatan dan metode
pembelajaran.
5. Langkah-langkah
kegiatan pembelajaran.
6. Alat dan sumber
belajar.
7. Evaluasi
pembelajaran.
Berbeda dengan rencana pembelajaran yang
dikembangkan oleh paham objektivis yang menekankan rincian dan kejelasan
tujuan, rencana pembelajaran kontekstual -yang dikembangkan oleh paham konstruktivis-
menekankan pada tahap-tahap kegiatan (yang mencerminkan proses pembelajaran)
siswa dan media atau sumber pembelajaran yang dipakai. Dengan demikian, rumusan
tujuan yang spesifik bukan menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembelajaran
kontekstual karena yang akan dicapai lebih pada kemajuan proses belajarnya.
Adapun langkah-langkah yang patut dilakukan
guru dalam penyusunan RPP adalah sebagai berikut:
1. Ambillah satu unit
pembelajaran(dalam silabus) yang akan diterapkan dalam pembelajaran.
2. Tulis standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam unit tersebut.
3. Tentukan indikator untuk
mencapai kompetensi dasar tersebut.
4. Tentukan alokasi waktu
yang diperlukan untuk mencapai indikator
5. Tentukan materi
pembelajaran yang akan diberikan/dikenakan kepada siswa untuk mencapai tujuan dirumuskan.
6. Pilihlah metode
pembelajaran yang dapat mendukung sifat materi dan tujuan pembelajaran
7. Susunlah langkah-langkah
kegiatan pembelajaran pada setiap satuan rumusan tujuan pembelajaran yang bisa
dikelompokkan menjadi menjadi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup,
8. Jika alokasi waktu
untuk mencapai statu kompetensi dasar lebih dari 2 9dua) jam pelajaran, bagilah
langkah-langkah pembelajaran lebih menjadi satu pertemuan. Pembagian setiap jam
pertemuan bisa didasarkan pada satuan tujuan pembelajaran atau sifat/tipe jenis
materi pembelajaran.
9. Sebutkan sumber/media
belajar yang akan digunakan dalam pembelajaran secara konkret dan untuk setiap
bagian/unit pertemuan.
10. Tentukan teknik penilaian,
bentuk, dan contoh instrumen penilaian yang akan digunakan untuk mengukur
ketercapaian kompetensi dasar atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Jika instrumen penilaian tugas berbentuk tugas, rumusankan tugas tersebut
secara jelas dan bagaimana rambu-rambu penilaiannya. Jika instrumen penilaian
berbentuk soal, cantumkan soal-soal tersebut dan tentukan rambu-rambu
penilaiannya dan/atau kunci jawabannya. Jika penilaiannya berbentuk proses,
susunlah rubriknya dan indikator masing-masingnya.[27]
Atas dasar yang tersebut di atas, saran pokok
dalam penyusunan program pembelajaran berbasis kontekstual adalah sebagai
berikut:
1. Menyatakan kegiatan
utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan
gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator. Misalnya, dalam
pembelajaran Bahasa Indonesia SD sebagai berikut:
Kompetensi
dasar : Menyatakan/mengapa
Materi
pokok : Kalimat
sapaan
Indikator : Dapat
mengemukakan kalimat sapaan yang tepat dalam sambuatan suatu acara, baik
sebagai pembawa acara maupun ketua panitia acara.
Maka kegiatan utama pembelajarannya adalah: ”latihan
Menyapa dengan menggunakan kalimat sapaan yang tepat dalam sambutan suatu acara”.
2. Menyatakan tujuan umum
pembelajaran.
3. Rincilah media untuk
mendukung kegiatan.
4. Buatlah skenario
tahap-demi tahap kegiatan siswa.
5. Nyatakan authentic
assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya
dalam pembelajaran.[28]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pokok
permasalahan, tujuan penulisan serta uraian dalam pembahasan dalam tulisan ini,
dapat penulis simpulkan bahwa:
1. Hakekat pendekatan
kontekstual,
Pembelajaran kontekstual atau CTL adalah konsep belajar dimana guru menghadirka dunia
nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari;
sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang
terbatas, sedikit-demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai
bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Landasan filosofis CTL adalah
konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak
hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan
dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam
kehidupannya.
2. Landasan pemikiran
dan teori pendekatan kontekstual,
a. Proses Belajar
b. Transfer belajar
c. Siswa sebagai pembelajar
d. Pentingnya lingkungan
belajar
Pembelajaran kontekstual harus menekankan pada
hal-hal sebagai berikut:
a. Belajar berbasis
masalah (Problem-Based Learning),
b. Pengajaran autentik (Authentic
lnstruction),
c.
Belajar
berbasis lnquiri (Inquiry-Based Learning)
d.
Belajar
berbasis proyek/tugas (Project-Based Learning)
e.
Belajar
berbasis kerja (Work-Based Learning)
f. Belajar berbasis jasa-layanan
(Service Learning)
g. Belajar kooperatif (Cooperative
Learning)
Sementara
itu, Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan
lima strategi disingkat
dengan REACT, yaitu:
a. Relating (Menghubungkan).
b. Experiencing (mencoba).
c. Applying (mengaplikasi).
d. Cooperating (bekerja sama).Transferring (proses
transfer ilmu).
3. Aplikasi pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran,
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:
a. Constructivisme
(konstruktivisme, membangun, membentuk).
b. Inquiry (menyelidiki,
menemukan).
c. Learning community (masyarakat
belajar).
d. Modelling
(pemodelan).
e. Questioning (bertanya).
f. Reflection (refleksi atau
umpan barik).
g.
Authentic assessment
(penilaian yang sebenarnya).
4. Strategi pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual,
Dalam Strategi pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual ini akan diuraikan berbagai strategi pengajaran yang
berasosiasi dengan pendekatan kontekstual, yaitu:
a.
Pengajaran
berbasis masalah
b.
Pengajaran
kooperatif
c.
Pengajaran
berbasis inkuiri
d.
Pengajaran
autentik
e.
Pengajaran
berbasis proyek/tugas
f.
Pengajaran
berbasis kerja
g.
Pengajaran
berbasis jasa layanan
5. Perencanaan
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
Saran
pokok dalam penyusunan program pembelajaran berbasis kontekstual adalah sebagai
berikut:
a. Menyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah
pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar,
materi pokok, dan indikator.
b.
Menyatakan
tujuan umum pembelajaran.
c.
Rincilah
media untuk mendukung kegiatan.
d.
Buatlah
skenario tahap-demi tahap kegiatan siswa.
e. Nyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat
diamati partisipasinya dalam pembelajaran
B. Penutup
Penulis meyakini
bahwa tulisan ini belumlah mencapai tingkat kesempurnaan dari yang diharapkan,
untuk itu diharapkan kritik dan saran yang konstruk, dan semoga bermanfaat bagi
kita semua, amin.
Jambi, 17 Oktober 2010
Penulis,
Muhammad Nuzli
DAFTAR PUSTAKA
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pengertian-pendekatan-strategi-metode-teknik-taktik-dan-model-pembelajaran/ _diakses pada tanggal 21 Januari
2010 jam 12.05 WIB
Muslich Masnur (2007).
KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual: Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Nurhadi;
Yasin, B.; Senduk, A. G. (2003). Pembelajaran
Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang : Penerbit UM.
Trianto (2010). Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana
[1] Nurhadi;
Yasin, B.; Senduk, A. G. Pembelajaran
Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. (Malang : Penerbit UM. 2003) h. 1
[2] Ibid, h. 4
[4] Muslich Masnur. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual: Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. (Jakarta : PT. Bumi Aksara,
2007) h. 40
[5] Op.Cit, Nurhadi, h. 11
[6] Ibid, h. 13
[8] Ibid, h. 14
[13] Trianto. Mendesain
Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya
pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). (Jakarta: Kencana, 2009)
h. 109
[23] Ibid,
51
[24] Ibid,
51
[25] Ibid,
52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan yang terbaik dan konstruktif kearah yang lebih baik, terima kasih