Minggu, 29 Juli 2012

PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (PK)


PEMBELAJARAN DENGAN PENDEKATAN
KONTEKSTUAL (PK)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kualitas kehidupan bangsa sangat ditentukan oleh faktor pendidikan. Peran pendidikan sangat penting untuk menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis. Oleh karena itu, pembaruan pendidikan harus selalu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidika nasional.
Kemajuan suatu bangsa hanya dapat dicapai melalui penataan pendidikan yang baik. Upaya peningkatan mutu pendidikan itu diharapkan dapat menaikkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Untuk mencapai itu, pendidikan harus adaptif terhadap perubahan zaman.
Memasuki Abad ke-21 ini, keadaan SDM kita sangat tidak kompetitif. Menurut catatan Human Development Report Tahun 2003 versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia lndonesia berada jauh di bawah Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28). Organisasi internasional yang lain juga menguatkan hal itu. lnternational Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD lndonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Sementara itu, Third Matemilhics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan matematika siswa SMP kita berada di urutan ke-34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 negara. Jadi, keadaan pendidikan kita memang memprihatinkan. Untuk itu, pembaruan pendidikan harus terus dilakukan.[1]
Selama ini hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghapal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya. Pertanyaannya, bagaimana pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana fakta-fakta saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam situasi baru? Hal itu disadari benar oleh pemerintah.
Kesadaran perlunya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran didasarkan adanya kenyataan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Hal ini karena pemahaman konsep akademik yang mereka peroleh hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan mereka, baik di lingkungan kerja maupun di masyarakat. Pembelajaran yang selama ini mereka terima hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian rentetan topik atau pokok bahasan, tetapi tidak diikuti dengan pemahaman atau pengertian yang mendalam, yang bisa diterapkan ketika mereka berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupannya.
Selanjunya Abdul Rahman (2000) juga memberikan alasan-alasan mengapa pembelajaran kontekstual dikembangkan pada saat ini yaitu sebagai beikut:
1.      Penerapan konteks budaya dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman guru, dan buku teks akan mendorong sebagian besar siswa untuk tetap tertarik dan terlibat dalam kegiatan pendidikan,
2.      Penerapan konteks sosial dalam pengembangan silabus, penyusunan buku pedoman, dan buku teks yang dapat meningkatkan kekuatan masyarakat memungkinkan banyak anggota masyarakat untuk mendiskusikan berbagai isu yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat,
3.      Penerapan konteks personal yang dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, akan membantu lebih banyak siswa untuk secara penuh terlibat dalam kegiatan pendidikan dan masyarakat,
4.      Penerapan konteks ekonomi akan berpengaruh terhadap pehingkatan kesejahteraan social,
5.      Penerapan konteks politik dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang berbagai isu yartg dapat berpengaruh terhadap masyarakat.[2]
Berdasarkan hal tersebut di atas dalam makalah ini penulis mencoba untuk mengemukakan dalam bentuk makalah dengan judul “Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual” dengan harapan dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya.
B.     Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dengan memperhatikan silabus mata kuliah, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana hakekat pendekatan kontekstual?
2.      Apa yang menjadi landasan pemikiran dan teori pendekatan kontekstual?
3.      Bagaimana mengaplikasi pendekatan kontekstual dalam pembelajaran?
4.      Bagaimana Strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual?
5.      Bagaimana perencanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual?
C.    Tujuan Penulisan
Dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas, yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini selain memenuhi tugas mata kuliah juga bertujuan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui hakekat pendekatan kontekstual,
2.      Untuk mengetahui landasan pemikiran dan teori pendekatan kontekstual,
3.      Untuk mengetahui aplikasi pendekatan kontekstual dalam pembelajaran,
4.      Untuk mengetahui strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual,
5.      Untuk mengetahui perencanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakekat pendekatan kontekstual
Pengembangan pembelajaran kontekstual merupakan peningkatan kinerja kelas. Dengan kelas yang hidup diharapkan menghasikan output yang bermutu tinggi. Dalam suatu pembelajaran, pendekatan memang bukan segala galanya.
Seperti yang digambarkan oleh Akhmad Sudrajat posisi pendekatan dalam proses pembelajaran adalah:
Gambar 1
Posisi Hierarkis dari Masing-Masing Istilah dalam Pembelajaran[3]

Dari gambar di atas dalam suatu pembelajaran, pendekatan memang bukan segalagalanya. Masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran. Faktor-faktor tersebut antara lain kurikulum yang menjadi acuan dasarnya, program pengajaran, kualitas guru/materi pembelajaran, strategi pembelajaran, sumber belajar; dan teknik/bentuk penilaian. Ini berarti pendekatan hanyalah salah satu faktor saja – dari sekian banyak faktor – yang perlu mendapatkan perhatian dalam keseluruhan pengelolaan pembelajaran. Walaupun demikian, penetapan pendekatan tertentu dalam hal ini pendekatan kontekstual dalam suatu pembelajaran dirasa penting karena dua hal, yaitu:
1.  Penentuan isi program, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, sumber belajar, dan teknik/bentuk penilaian harus dijiwai oleh pendekatan yang dipilih.
2.  Salah satu acuan untuk menentukan keseluruhan tahapan pengelolaan pembelajaran adalah pendekatan yang dipilih.[4]
Dewasa ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di Negara-negara maju dengan berbagai nama. Di negeri Belanda berkembang apa yang disebut dengan Realistic Mathematics Education (RME) yang menjelaskan bahwa pembelajaran matematik harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Di Amerika berkembang apa yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupannya dan memeotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelarinya dengan kehidupan mereka. Sementara itu di Michingan juga berkembang Connected Mathematics Project (CMP) yang bertujuan mengintegrasikan ide matematika kedalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelarinya dengan baik dan mudah.[5]
Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan hal tersebut landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
Dari uraian di atas dan dari beberapa definisi tentang pembelajaran kontekstual yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual atau CTL adalah konsep belajar dimana guru menghadirka dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit-demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.[6]
Dari pengertian di atas Nurhadi (2007) juga mengemukakan beberapa pernyataan kunci yang merupakan penjelasan, yaitu:
1.      Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan warga Negara.
2.      Pembelajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.
3.      Siswa belajar tidak dalam proses seketika. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh sedikit-demi sedikit, berangkat dari pengetahuan (schemata) yang dimiliki sebelumnya,
4.      Kemajuan belajar siswa diukur dari proses, kinerja, dan produk, berbasis pada prinsip authentic-assessment.[7]
Selanjutnya pembelajaran kontekstual memiliki beberapa karakteristik yang dikemukakan oleh Johnson (2002) yaitu sebagai beikut:
1.      Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing),
2.      Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work). Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat,
3.      Belajar yang diatur sendiri (Self-regulated learning). Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata,
4.      Bekerja sama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi,
5.      Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatifl dapat menganalisis, membuat sintesis, rnemecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti,
6.      Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.
7.      Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan mencapai sandar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”,
8.      Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment). Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna, Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademik yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, penddikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia.[8]
Kontektual merupakan salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk segala situasi belajar. Pertanyaannya apakah yang dimaksud kontek itu?
Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa yang dikemukakan oleh Sagric International (2OO2), yaitu:
  1. Konteks Tujuan, Tujuan apa yang akan dicapail?
  2. Konteks Isi, Materi apa yang akan diajarkan?
  3. Konteks Sumber , Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan?
  4. Konteks Target Siswa, Siapa yang akan belajar?
  5. Konteks Guru, Siapa yang akan mengajar? Bagaimana kualitasnya?
  6. Konteig Metode, Strategi belajar apa yang cocok diterapkan?
  7. Konteks Hasil, Bagaimana hasil pembelajaran akan diukur?
  8. Konteig Kematang, Apakah siswa telah siap dengan hadirnya buah konsep atau pengetahuan baru?
  9. Konteks Lingkungan, Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar?[9]
B.     Landasan pemikiran dan teori pendekatan kontekstual
Beberapa kecenderungan pemikiran dalam teori belajar yang mendasari filosofi pembelajaran kontekstual, yakni sebagal berikut:
  1. Proses Belajar
a.      Belajar tidak hanya sekadar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
b.      Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh Guru
c.      Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan (subjek matter),
d.    Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yeng terpisah; tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan,
e.       Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru,
f.       Siswa perlu dibiasakan mememcahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide,
g.     Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus-menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya mempengaruhi cara seseorang berperilaku.
  1. Transfer belajar
a.       Pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan/ditransfer dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dan dari suatu konteks ke konteks lain. Lee (1999) mendefinisikan transfer adalah kemampuan untuk berfikir dan berargumentasi tentang situasi baru melalui penggunaan pengetahuan awal, dan berkonotasi ’negatif’ jika pengetahuan awal secara nyata mengganggu proses belajar.
b.      Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari 'pemberian orang lain',
c.       Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit). sedikit demi sedikit,
d.      Penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan bagaimana' ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
  1. Siswa sebagai pembelajar
a.       Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru,
b.      Strategi belajar itu Penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu . yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting,
c.       Peran orang dewasa (guru) memebantu menghubungkan antara ’yang baru’ dan yang sudah diketahui,
d.      Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
  1. Pentingnya lingkungan belajar
a.       Belajar efekif itu dimulai dari lingkungan belajar yarg berpusat pada siswa. Dari "guru akting di depan kelas, siswa menonton" ke "siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan",
b.      Pengajaran harus berpusat pada 'bagaimana cara' siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya,
c.       Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar,
d.      Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.[10]
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan ini pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai fokus pembelajaran kontekstual seperti yang dikemukakan oleh Nurhadi (2003) sebagai berikut.
  1. Belajar berbasis masalah (Problem-Based Learning), yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilirn pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Dalam hal ini siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan inforrnasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain (Moffitt, 2001).
  2. Pengajaran autentik (Authentic lnstruction), yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna. Ia mengembangkan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting di dalam konteks kehidupan nyata,
  3. Belajar berbasis lnquiri (Inquiry-Based Learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna,
  4. Belajar berbasis proyek/tugas (Project-Based Learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan meng-kulminasikannya dalam produk nyata (Buck Institue for Education, 2001),
  5. Belajar berbasis kerja (Work-Based Learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa (Smith, 2001),
  6. Belajar berbasis jasa-layanan (Service Learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa-layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa-layanan tersebut, jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa-layanan dan pembelajaran akademis. Dengan kata lain, pendekatan ini menyajikan suatu penerapan praktis dari pengetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat melalui poyek/tugas terstrukur dan kegiatan lainnya (McPherson, 2001),
  7. Belajar kooperatif (Cooperative Learning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Holubec, 2001).[11]
Agar proses pengajaran kontekstual lebih efektif yang dilakukan oleh guru, guru perlu melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Mengkaji konsep dan kompetensi dasar yang akan dipelajari olehr siswa,
  2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa rnelalui process pengkajian secara saksama,
  3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep dan kompetensi yang akan dibahas dalam proses pembelajaran kontekstual,
  4. Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan kehidupan mereka,
  5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dan mengaitkan apa yang dipelajarinya dengan fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, siswa didorong untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya,
  6. Melakukan penilaian terhadap pemahamah siswa. Hasil penilaian tersebut dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap rancangan pembelajaran dan pelaksanaannya.[12]
Sementara itu, Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan lima strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat  dengan REACT, yaitu:
  1. Relating (Menghubungkan). Relating adalah belajar dalam suatu konteks sebuah pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa. Guru menggunakan relating ketika mereka mencoba menghubungkan konsep baru dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa,
  2. Experiencing (mencoba). Pada experiencing mungkin saja mereka tidak mempunyai pengalaman langsung berkenaan dengan konsep tersebut. Akan tetapi, pada bagian ini guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on kepada siswa sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut siswa dapat membangun pengetahuannya,
  3. Applying (mengaplikasi). Strategi applying sebagai belajar dengan menerapkan konsep-konsep. Kenyataannya, siswa mengaplikasikan konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah yang hands-on dan proyek-proyek. Guru juga dapat memotivasi suatu kebutuhan untuk memahami konsep dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan,
  4. Cooperating (bekerja sama). Bekerja sama-belajar dalam konteks saling berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan pelajar lainnya adalah strategi instruksional yang utama dalam pengajaran kontekstual. Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk mempelajari suatu bahan pelajaran, hal ini juga secara konsisten berkaitan dengan penitikberatan pada kehiupan nyata dalam pengajaran kontekstual,
  5. Transferring (proses transfer ilmu). Transfering adalah strategi mengajar yang kita definisikan sebagai menggunakan pengetahuan dalam sebuah konteks baru atau situasi baru suatu hal yang belum teratasi/diselesaikan dalam kelas.[13]
Selain strategi yang harus diperhatikan dalam menerapkan pembelajaran kontekstual, isi silabus berbasis kontekstual juga harus memiliki konteks dengan kegunaannya dalam kehidupan. Dengan persyaratan silabusnya adalah sebagai berikut:
  1. Meningkatkan Motivasi. Kornteks dapat dipilih untuk meningkatkan motivasi siswa. Kontek kehidupan nyata yang menarik siswa SLTP bervariasi karena katerkaitannya dengan usia, jenis kelamin, kelompok sosio-konomi dan latar belakanya budaya. Dunia siswa usia 16 tahun umumnya sangat berbeda dengan sebagian besar siswa berusia 13 tahun, Banyak siswa yang lebih menyukai isu dan konteks yang terkait pada keadaan saat ini daripada yang terkait dengan kemungkinan pengalaman di masa depan. Memilih konteks untuk meningkatkan motivasi dapat dilakukan dengan cara melibatkan siswa dalam penyusunan perencanaan pembelajarannya sendiri. Jika guru memiliki suatu kejelasan ide mengenai arah program pembelajaran, siswa dapat diberi kebebasan untuk menyesuaikan bahan dan program tersebut pada suatu arah dan konteks dari pilihannya sendiri. Jika siswa ikut berpartisipasi dalam pembuatan perencanaan pengalaman belajamya sendiri, motivasi siswa akan meningkat dan terjaga dengan baik,
  2. Meningkatkan Pemahaman Konsep. Konteks harus dipilih untuk membantu siswra mengembangkan pemahaman konsep. Siswa akan mengembangkan pemahrmannya dengan baik jika mereka dapat secara mudah mengaitkan antara sesuatu yang telah mereka kenal dengan pengetahuan dan pemahaman yang baru atau yang belum dikenal. Pentingnya pembuatan hubungan dalam memahami materi yang abstrak tidak dapat dibesar-besarkan. Keberhasilan dalam belajar ditandai oleh penyediaan lingkungan belajar yang membantu siswa membuat hubungan-hubungan tersebut. Siswa selanjutnya mampu menyadari adanya saling hubungan antar materi dan perannya dalam situasi kehidupan nyata,
  3. Meningkatkan Keterampilan Komunikasi. Siswa datang di sekolah dengan pengetahuan yang diperoleh dari anggota keluarga, masyarakat, media, teman dan dari lingkungannya. Siswa SLTP juga memiliki pengalaman enam tahun pendidikan di SD. Semua hal tersebut telah membentuk cara berpikir siswa. Sering siswa akan memiliki ide yang telah berurat berakar secara kuat yang benar-benar berbeda dari prinsip yang berlaku secara umum. Siswa tidak secara alami membangun ide yang benar meskipun suatu variasi strategi seperti penyelesaian masalah, pengujian, peramalan dan lain-lain digunakan dalam kelas. lni menunjukkan bahwa komunikasi dalam segala bentuknya adalah penting dalam kelas. Bacaan, tulisan dan ahivitas tangan adalah tidak cukup untuk menangani siswa secara penuh. Tugas guru adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun ide yang.benar melalui penyediaan suatu lingkungan belajar yang memiliki suatu hubungan logis dari bagian-bagian komponen. Ada kebutuhan untuk tawar-manawar makna dari ide-ide dan kata-kata antara siswa, teman sebaya dan gurunya,
  4. Meningkatkan Penguasaan Materi. Penguasaan materi tidak hanya penguasaan fakta. Penguasaan materi juga berkenaan dengan sikap terhadap belajar dan sikap terhadap pandangan yang bertentangan. Penguasaan materi harus membantu siswa untuk menghubungkan pengetahuan teknik terhadap nilai-nilai pribadi. Hal ini juga memungkinkan siswa membuat keputusan berdasarkan pemikiran yang mendalam dan melakukan diskusi bersama orang lain yang berbeda pandangan,
  5. Meningkatkan Kontribusi Pribadi dan Sosial. Pendidikan harus merupakar suatu proses yang dapat meningkatkan perkembangan pribadi maupun masyarakat, pengentahuan, keterampilan, dan nilai-nilai. Sekolah tidak dapat dikatakan melaksanakan pendidikan jika tidak melakukan orientasi kritis secara sosial. Tanpa orientasi itu sekolah hanya melatih siswa untuk berpartisipasi dalam struktur masyarakat yang telah ditetapkan.[14]
C.    Aplikasi pendekatan kontekstual dalam pembelajaran
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:
  1. Constructivisme (konstruktivisme, membangun, membentuk).
Komponen ini merupakan landasan filosofis (berpikir) pendekatan CTL. Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan dan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep, dan kaidah yang siap dipraktikkannya. Manusia harus mengkonstruksinya terlebih dahulu pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Karena itu, siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya.
Atas dasar pengertian tersebut, prinsip dasar konstruktivisme yang dalam praktik pembelajaran harus dipegang guru- adalah sebagai berikut:
a.       Proses pembelajaran lebih utama daripada hasil pembelajaran,
b.      Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih penting daripada informasi verbalistis,
c.       Siswa mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri',
d.      Siswa diberikan kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam belajar,
e.       Pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri,
f.       Pemahaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila diuji dengan pengalaman baru,
g.      Pengalaman siswa bisa dibangun secara asimilasi (yaitu pengetahuan baru dibangun dari struktur pengetahuan yang sudah ada) maupun akomodasi (yaitu struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung/menyesuaikan hadirnya pengalaman baru).
  1. Questioning (bertanya).
Komponen ini merupakan strategi pembelajaran CTL. Belajar dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk mengetahui mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Pada sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemerolehan pengetahuan seseorang selalu bermula dari bertanya.
Atas dasar pengertian tersebut, prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran berkaitan dengan komponen bertanya adalah sebagai berikut:
a.       Penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya,
b.      Konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui tanya jawab,
c.       Dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi (baik kelompok maupun kelas),
d.      Bagi guru, bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa,
e.       Dalam pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:
1)      menggali informasi,
2)      mengecek pemahaman siswa,
3)      membangkitkan respons siswa,
4)      mengetahui kadar keingintahuan siswa,
5)      mengetahui hal-hal yang diketahui siswa,
6)      memfokuskan perhatian siswa pada sesuai yang dikehendaki guru,
7)      membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi diri siswa, dan
8)      menyegarkan pengetahuan siswa.
  1. Inquiry (menyelidiki, menemukan).
Komponen ini menemukan merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.
Atas pengertian tersebut, prinsip-prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiry dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
a.       Pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri,
b.      Informasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data yang ditemukan sendiri oleh siswa,
c.       Siklus inkuiri adalah observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesip), pengumpulan data (data gathering), dan penyimpulan (conclussion),
d.      Langkah-langkah kegiatan inkuiri:
1)      merumuskan masalah,
2)      mengamati atau melakukan observasi,
3)      menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain,
4)      mengomunikasikan atau menyajikan hasilnya pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens yang lain).
  1. Learning community (masyarakat belajar).
Konsep ini menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, antar kelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Karena itu, pembelajaran yang dikemas dalam berdiskusi kelompok yang anggotanya heterogen, dengan jumlah yang bervariasi, sangat mendukung komponen learning community ini.
Berikut disajikan prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan, pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community.
a.       Pada dasarya hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau sharing dengan pihak lain,
b.      Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi,
c.       Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah,
d.      Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain,
e.       Yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.
  1. Modelling (pemodelan).
Komponen pendekatan CTL ini menyarankan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh tentang, misalnya, cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertonton suatu penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan modelnya atau contohnya.
Prinsip-prinsip komponen modelling yang bisa diperhatikan guru ketika melaksanakan pembelajaran adalah sebagai berikut:
a.       Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan mantap apabila ada model atau contoh yang bisa ditiru,
b.      Model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari ahlinya,
c.       Model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil karya, atau model penampilan.
  1. Reflection (refleksi atau umpan barik).
Komponen yang merupakan bagian terpenting dari pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang baru dipelajari. Dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari, menelaah dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan atau bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran semacam ini penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru.
Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut:
a.       Perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan pengayaan atas pengetahuan sebelumnya,
b.      Perenungan merupakan respons atas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diperolehnya,
c.       Perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atau unjuk kerja.
  1. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya).
Komponen yang merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman siswa ini perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses relajar siswa. Dengan demikian, penilaian autentik diarahkap pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelaiaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran.
Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika menerapkan komponen penilaian autentik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
a.       Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman belajar siswa,
b.      Penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil,
c.       Guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluators) yang dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks belajar,
d.      Penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian sesama (peer assessment).
e.       Penilaian autentik mengukur keterampilan dan performansi dengan kriteria yang jelas (performance-based),
f.       Penilaian autentik dilakukan dengan berbagai alat secara berkesinambungan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran,
g.      Penilaian autentik dapat dimanfaatkan oleh siswa, orang tua, dan sekolah untuk mendiagnosis kesulitan belajar, umpan balik pembelajaran, dan/atau untuk menentukan prestasi siswa.[15]
Untuk lebih jelas bagaimana keterkaitan ketujuh komponen ini dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2
Bagan Keterkaitan antar Komponen Pembelajaran Kontekstual[16]

Untuk gambaran sederhana penerapan ketujuh kompenen pembelajaran kontekstual dapat dilihat langkah-langkah sebagai berikut:[17]
1.        Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya!
KOMPONEN KONSTRUKTIVISME
Sebagai Filosofi
2.        Laksanakan kegiatan inkuiri untuk mencapai kompetensi yang diinginkan disemua bidang studi!
KOMPONEN INKUIRI
Sebagai Stategi Belajar
3.        Bertanya sebagai alat belajar: kembangkan sifat ingin tahu
siswa dengan bertanya!
KOMPONEN BERTANYA
Sebagai keahlian dasar yang dikembangkan
4.        Ciptakan ’masyarakat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok)!
KOMPONEN MASYARAKAT BELAJAR
Sebagai penciptaan lingkungan belajar
5.        Tunjukkan ’model’ sebagai contoh pembelajaran! (benda-benda, guru, siswa lain, karya inovasi, dll.
KOMPONEN PEMODELAN
Sebagai acuan pencapaian kompetensi
6.        Lakukan refleksi diakhir pertemuan agar siswa ’merasa’ bahwa hari ini mereka belajar sesuatu!
KOMPONEN REFLEKSI
Sebagai langkah akhir dari belajar
7.        Lakukan penilaian yan sebenarnya: dari berbagai sumber dan dengan berbagai cara!
KOMPONEN PENILAIAN YANG SEBENARNYA
Untuk menerapkan pembelajaran kontestual ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Konstruktivisme (constructivism)
Dalam pembelajaran kontekstual belajar lebih sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Dan tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi kedalam benak siswa, akan tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep perting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa. Proses tersebut dapat digambarkan dengan gambar 3 berikut:
Gambar 3
Proses Pembelajaran Konstruktivistik[18]

Dari gambar di atas proses pembelajaran konstruktivistik yang dimulai dari kotak bawah yang menjelaskan bahwa siswa lahir dengan pengetahuan yang masih kosong. Dengan menjalani kehidupan dan berinteraksi dengan lingkungannya, siswa mendapatkan pengetahuan awal yang diproses melalui pengalaman-pengalaman belajar untuk memperoleh pengetahuan baru.
Disamping itu pula akan mengemukakan perbedaan antara pembelajaran kontekstual yang berpijak pada pandangan konstruktivisme dengan pembelajaran tradisional yang berpijak pada pandangan behavioristik-objektivis, yaitu:
No
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran Tradisional
1.        
Siswa secara ektif telibat dalam
proses pembelajaran
1.       Siswa adalah penerima informasi secara pasif.
2.        
Siswa belajar dari teman melalui
kerja kelompok, diskusi, saling
mengoreksi.
2.       Siswa belajar secara individual.
3.        
Pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan,
3.       Pembelajalan sangat abstrak dan teoretis
4.        
Perilaku dibangun atas kesadaran diri
4.       Perilaku dibangun atas kebiasaan.
5.        
Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman.
5.       Keterampilan dikembangkan atas dasar latihan.
6.        
Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri
6.       Hadiah untuk perilaku baik adalah pujian atau nilai (angka) rapor.
7.        
Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia sadar hal itu keliru dan merugikan
7.       Seseorang tidak melakukan yang jelek karena dia takut hukuman.
8.        
Bahasa diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan bahasa dalam konteks nyata.
8.       Bahasa diajarkan dengan pendekatan struktural: rumus diterangkan sampai paham, kemudian dilatihkan (drill).
9.        
Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemala yang sudah ada dalam diri siswa.
9.       Rumus itu ada di luar diri siswa, yang harus diterangkan, diterima, dihafalkan, dan dilatihkan.
10.     
Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan lainnya, sesuai dengan skemata siswa (ongoing process of development).
10.    Rumus adalah kebenaran absolut (sama untuk semua orang). Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pemahaman humus yang salah atau pemahaman rumus yang benar.
11.     
Siswa menggunakan kemampuan berpikir kitis, terlibat penuh dalam mengupayakan terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses pembelajaran.
11.    Siswa secara pasif menerima rumus atau kaidah (membaca, mendengarkan, mencatat, menghafal), tanpa memberikan kontribusi ide dalam proses pembelajaran



12.     
Pengelahuan yang dimiliki manusia
dikembangkan oleh manusia itu sendiri.
Manusia nrenciptakan,atau membangun
pen6etahuan dengan cara memberi arti
dan memahami pengalamannya.
12.    Pentetahuan adalah penangkapan terhadap serangkaian fakta, konsep, atau hukum yang berada di luar diri manusia.
13.     
Karena ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri,sementara manusia melalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil, selalu berkembang (tentative & incompletel).
13.    Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final.
14.     
Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing,
14.    Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran
15.     
Penghargaan terhadap pengalaman siswa sangat diutamakan.
15.    Pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa.
16.     
Hasil belejar diukur dengan berbagai
cara: proses bekerja, hasil karya, penampilan, rekaman, tes, dan lain-lain.
16.    Hasil belejar diukur hanya dengan tes
17.     
Pembelajaran terjadi diberbagai tempat kornteks, dan setting
17.    Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas
18.     
Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek.
18.    Sanksi adalah hukuman dari perilaku jelek
19.     
Perilaku baik bedasar motivasi intrinsik
19.    Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
20.     
Seseorang berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat
20.    Seseorang beperilaku baik kerena dia terbiasa melakukan begitu. Kebiasaan ini dibangun dengan hadiah yang menyenangkan
2.      Menemukan (Inquiry)
Inkuiri pada dasarnya adalah suatu ide yang komplek, yang berarti banyak hal, bagi banyak orang, dalam banyak konteks (a complex idea that means many things to many people in many contexts). lnkuiri adalah bertanya. Bertanya yang baik, bukan asal bertanya. Pertanyaan harus berhubungan dengan apa yang dibicarakan. Pertanyaan yang diajukan harus dapat dijawab sebagian atau keseluruhannya. Pertanyaan harus dapat diuji dan diselidiki secara bermakna.
Kegiatan inkuiri sebenarnya sebuah siklus. Siklus itu terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apa pun)
1)      Bagaimanakah silsilah raja-raja Majapahit? (sejarah)
2)      Bagaimanakah cara melukiskan suasana menikmati ikan bakar di tepi pantai Kendari? (bahasa lndonesia)
3)      Ada berapa jenis tumbuhan menurut bentuk bijinya? (sains)
4)      Kota mana saja yang termasuk kota besar di lndonesia? (geografi)
b.      Mengumpulkan data melalui observasi .
1)      Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung
2)      Mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumbar atau objek yang diamati,
c.       Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya
1)      Siswa membuat besar sendiri,
2)      Siswa membuat deskripsi sendiri,
3)      Siswa membuat bagan silsilah raja-raja Majapahit sendiri,
4)      Siswa membuat penggolongan tumbuh-tumbuhan sendiri,
5)      Siswa membuat esai atau usulan kepada pemerintah tentang berbagai masalah di daerahnya sendiri, dan seterusnya.
d.      Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain
1)      Karya siswa disampaikan teman sekelas atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan
2)      Bertanya jawab dengan teman
3)      Memunculkan ide-ide baru
4)      Melakukan refleksi
5)      Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di dinding kelas, dinding sekolah, majalah dinding, majalah sekolah, dan sebagainya.[19]
Jika digambarkan skilus inkuiri dapat dilihat seperti gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4
Proses/Siklus Inkuiri[20]

3.      Bertanya (questioning)
Sebagaimana disebut terdahulu bahwa bertanya (questioning) merupakan induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran. Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, meng-konfirmasi, mengapersepsi, mengarahkan/menggiring, mengaktifkan skemata, men-judge, mengklarifikasi, memfokuskan, dan menghindari kesalahpahaman.
Menggunakan pertanyaan dalam pembelajaran berbasis inkuiri sangatlah mendasar. Guru menggunakan pertanyaan untuk menuntun siswa berpikir, bukannya penjejalan berbagai informasi penting yang harus dipelajari siswa. Guru menggunakan pula pertanyaan untuk membuat penilaian secara kontinyu terhadap pemahaman siswa.
Jenis konteks yang dapat digunakan guru untuk menerapkan teknik bertanya dalam kelas adalah sebagai berikut:
a.       Bertanya adalah suatu cara untuk masuk dan terlibat dalam hal sesuatu. Bertanya adalah suatu alat yang digunakan oleh orang yang bertanya untuk memulai dan mempertahankan interaksi dengan orang lain. Contoh: melakukan suatu percakapan, dan melibatkan orang lain dalam suatu pembicaraan
b.      Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mendapatkan informasi. Bertanya dapat dimotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang suatu maksud atau oleh ke ingintahuan dan "kebutuhan untuk mengetahui". Contoh: mewawancarai seorang anggota masyarakat, dan meminta diajari.
c.       Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk mengklarifikasi atau meyakinkan informasi. Contoh: bertanya kepada teman selama kegiatan pemecahan terhadap suatu masalah, dan berspekulasi tentang hasil suatu eksperimen.
d.      Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan. Pertanyaan yang kita tanyakan pada diri sendiri dan orang lain merupakan suatu bagian penting dari proses berpikir dan refleksi yang kita lakukan. Contoh: merefleksi tentang suatu soal matematika, dan menganalisis tingkah laku karakter dalam sebuah novel.[21]
4.      Masyarakat-belajar (learning community)
Dalam masyarakat-belajar, hasil pembelajaran dapat diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok dan antara mereka yang tahu ke mereka yang belum tahu.
Pada dasarnya, learning conmunity atau masyarakat-belajar itu mengandung arti sebagai berikut:
a.       Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagi gagasan dan pengalaman,
b.      Ada kerja sama untuk memecahkan masalah,
c.       Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik daripada kerja secara individual,
d.      Ada rasa tansgung jawab kelompok, semua angota dalam kelompok rnempunvai tanggung jawab yang sama
e.       Upaya membangun motivasi belajar bagi anak yang belum mampu dapat diadakan,
f.       Menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang mau belajar dengan anak lainnya,
g.      Ada rasa tanggung jawab dan kerja sama antara anggota kelompok untuk saling memberi dan menerima,
h.      Ada fasilitator/guru yang pemandu proses belajar dalam kelompok,
i.        Harus ada komunikasi dua arah atau multi arah,
j.        Ada kemauan untuk menerima pendapat yang lebih baik,
k.      Ada keseediaan untuk menghargai pendapat orang lain,
l.        Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja,
m.    Dominasi siswa-siswa yang pintar perlu diperhatikan agar yang lambat/lemah bisa pula berperan,
n.      Siswa bertanya kepada teman-temannya itu sudah mengandung arti learning community.[22]
Kegiatan masyarakat belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.
5.      Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan para siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Dengan kata lain, model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara melafalkan bahasa Inggris, dan sebagainya. Atau, guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, guru memberi model tentang "bagaimana cara belajar".
Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan milibatkan siswa, seorang siswa bisa ditunjuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau kontes bahasa Inggris, siswa itu dapat ditunjuk untuk mendemonstrasikan keahliannya. Siswa 'contoh' tersebut dikatakan sebagai model, siswa dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang dicapainya.
Model juga dapat didatangkan dari luar. Seorang penutur asli berbahasa Inggris sekali waktu dapat dihadirkan di kelas untuk menjadi 'model' cara berujar, cara bertutur kata, gerak tubuh ketika berbicara, dan sebagainya.
6.      Refleksi (reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah kita dilakukan dimasa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang beru saja diterima.
Guru perlu melaksanakan refleksi pada akhir program pengajaran. Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya dapat berupa:
a.       Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu,
b.      Catatan atau jurnal di buku siswa,
c.       Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu,
d.      Diskusi,
e.       Hasil karya, dan
f.       Cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari.[23]
Sebagai contoh perintah guru yang menggambarkan kegiatan refleksi sebagai berikut:
a.       Bagaimana pendapatmu mengenai kegiatan hari ini?
b.      Hal-hal baru apa yang kalian dapatkan melalui kegiatan hari ini?
c.       Catatlah hal-hal penting yang kalian dapatkan!
d.      Buatlah komentar di buku catatanmu tentang pembelajaran hari ini!
e.       Mungkinkah keterampilan yang kalian pelajari hari ini kalian terapkan di rumah?[24]
7.      Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Authentic Assessment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut:
a.       Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk,
b.      Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung,
c.       Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber,
d.      Tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian,
e.       Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari,
f.       Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas). [25]
Intinya, dengan authentic assessment, pertanyaan yang ingin dijawab adalah "Apakah anak-anak belajar?', bukan 'Apa yang sudah diketahui". Jadi, siswa dinilai kemampuannya dengan berbagai cara. Tidak melulu dari hasil ulangan tulis. Prinsip utama asesmen dalam pembelajaran kontekstual tidak hanya rnenilai apa yang diketahui siswa, tetapi juga menilai apa yang dapat dilakukan siswa. Penilaian itu mengutamakan penilaian kualitas hasil kerja siswa dalam menyelesaikan suatu tugas.
D.    Strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Dalam Strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini akan diuraikan berbagai strategi pengajaran yang berasosiasi dengan pendekatan kontekstual, yaitu:
1.      Pengajaran berbasis masalah
Pengajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu kontek bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
Pengajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar.
Adapun ciri-ciri pengajaran berbasis masalah sebagai berikut:
a.       Pengajuan pertanyaan atau masalah,
b.      Berfokus pada keterkaitan antar disiplin,
c.       Penyelidikan autentik,
d.      Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya.
Sementara itu yang menjadi tujuan dalam pengajaran berbasis masalah ini adalah:
a.       Keterampilan berfikir dan keterampilan pemecahan masalah,
b.      Pemodelan peran orang dewasa,
c.       Pembelajaran yang otonomi dan mandiri
Pengajarn berbasis masalah biasanya terdiri dari lima tahapan yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Dimana kelima tahapan tersebut adalah:
      Tahapan
      Tingkah Laku Guru
Tahap 1:
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar teribat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2:
Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3:
Membimbing penyelidikan individual dan kelompok
Guru mandorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya.
Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikah hasil karya
Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka berbagai tugas dengan temannya.
Tahap 5:
Menganalisis dan mengevaluasi Poses pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
2.      Pengajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa. Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain. Sifatnya yang individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Karena sama lain saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih (saling menyayangi atau saling mencintai). Pembelajaran kooperatif pembelajaran yang secara sadar dan sengaja menciptakan interaksi saling mengasihi antar sesama siswa.
Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
a.       Saling ketergantungan positif,
b.      Interaksi tatap muka,
c.       Akuntabilitas individual,
d.      Keterampilan menjalin hubungan antara pribadi
Sementara yang menjadi perbedaan antara kelompok belajar kooperatif dengan kelompok belajar tradisional dapat dikemukakan sebagai berikut:
kelompok belajar kooperatif
kelompok belajar tradisional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.
Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap annggota kelompok dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan
Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya ”enak-enak saja” di atas keberhasilan temannya yang dianggap "pemborong"
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan
Kelompok belajar biasanya homogen.
Peran guru dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
a.       Merumuskan tujuan pembelajaran
1)      Tujuan akademik (academic objectives). Tujuan ini dirumuskan sesuai dengan taraf perkembangan siswa dan analisisn tugas atau analisis konsep,
2)      Tujuan keterampilan berkerja sama (collaborative skill objectives). Tujuan ini meliputi keterampilan memimpin, berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik.
b.      Menentukan jumlah kelompok anggota dalam kelompok belajar.
Jumlah anggota dalam tiap kelompok belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 siswa. Ada 3 faktor yang menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga fakor tersebut adalah:
1)      taraf kemampuan siswa,
2)      ketersediaan bahan, dan
3)      ketersediaan waktu.
Jumlah anggota kelompok belajar hendaknya kecil agar tiap siswa aktif menjalin kerja sama menyelesaikan tugas. Ada 3 pertanyaan yang hendaknya dijawab oleh guru saat akan menempatkan siswa dalam kelompok. Ketiga pertanyaan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)      Pengelompokan siswa secara homogen atau heterogen?
2)      Bagaimana menempatkan siswa dalam kelompok?
3)      Siswa bebas memilih teman atau ditentukan oleh guru?
a)      Berdasarkan metode sosiometri,
b)      Berdasarkan kesamaan nomor,
c)      Menggunakan teknik acak berstrata.
c.       Menentukan tempat duduk siswa
d.      Merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan,
e.       Menentukan peran siswa untuk menunjang saling ketergantungan,
f.       Menjelaskan tugas akademik,
g.      Menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama,
h.      Menyusun akuntabilitas individual,
i.        Menyusun kerja sama antar kelompok,
j.        Menjelaskan kriteria keberhasilan,
k.      Menjelaskan prilaku siswa yang diharapkan,
l.        Memantau prilaku siswa,
m.    Memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas,
n.      Melakukan intervensi untuk mengajarkan keterampilan bekerja,
o.      Menutup pelajaran,
p.      Menilai kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa,
q.      Menilai kualitas kerjasama antar anggota kelompok.
3.      Pengajaran berbasis inkuiri
Pembelajaran dengan penemuan (inquiry) merupakan satu komponen penting dalam pendekatan konstruktivistik yang telah memiliki sejarah panjang dalam inovasi atau pembaruan pendidikan. Dalam pembelajaran dengan penemuan (inkuiri), siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui katerlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Pengajaran berbasis inkuiri membutuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna. Inkuiri adalah seni dan ilmu bertanya dan menjawab. Selama proses inkuiri berlangsung, seorang guru dapat mengajukan suatu pertanyaan atau mendoron g siswa untuk rnengajukan pertanyaan-perianyaan mereka sendiri. Pertanyaannya bersifat open-ended, memberi kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki sendiri dan rnereka mencari jawaban sendiri (tetapi tidak hanya satu jawaban yang benar).
Siklus inkuiri adalah: (1) Observasi (Observation); (2) Bertanya (Quationing); 3) Mengajukan dugaan (Hipotesis); (4) Pengumplan data (Data gathering); dan (5) Penyimpulan (Conclusion).
4.      Pengajaran autentik
Pengajaran autentik yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konteks bermakna.
5.      Pengajaran berbasis proyek/tugas
Empat prinsip berikut ini akan membantu siswa dalam perjalanan mereka menjadi pembelajar mandiri yang efektif, yaitu sebagai berikut:
a.       Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantrang,
b.      Menganeka ragamkan tugas-tugas,
c.       Menaruh perhatian pada tingkat kesulitan,
d.      Monitor kemajuan siswa
6.      Pengajaran berbasis kerja
Pengajaran berbasis kerja (Work-Based Learning) memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di dalam tempat kerja. Jadi dalam hal ini tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa (Smith. 2001).
Mengajar siswa di kelas adalah suatu bentuk pemagangan. Pengajaran berbasis kerja menganjurkan pentransferan model pengajaran dan pembelajaran yang efektif kepada aktivitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara melibatkan siswa dalam tugas-tugas komplek maupun membantu mereka mengatasi tugas-tugas tersebut dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif heterogen di mana siswa yang lebih pandai membantu siswa yang kurang pandai dalam nrenyelesaikan tugas-tugas kompleks tersebut.
7.      Pengajaran berbasis jasa layanan
Pengajaran berbasis jasa layanan memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang masa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut; jadi menekankan hubungan antara pengalaman Jasa layanan dan pembelajaran akademis.
Contoh pembelajaran yang berbasis layanan, misalnya sebagai berikut:
a.       Ada bencana alam, lalu siswa diajak untuk melaksanakan kegiatan penggalangan dana, kemudian membantu korban,
b.      Ada panti asuhan yang memerlukan bantuan, lalu anak diminta untuk melaksanakan kegiatan membantu panti asuhan,
c.       Ada tamu yang akan datang ke sekolah, lalu siswa diminta untuk melaksanakan kegiatan penyambutan,
d.      Ada teman yang mendapat musibah, lalu siswa diminta membantu,
e.       Ada fasilitas umum yang rusak dan kotor, lalu siswa mengadakan kegiatan perbaikan dan pembersihan fasilitas umum.[26]
E.     Perencanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
Perencanaan pembelajaran atau biasa disebut Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Berdasarkan RPP inilah seorang guru (baik yang menyusun RPP itu sendiri maupun yang bukan) diharapkan bisa menerapkan pembelajaran secara terprogram. Karena itu, RPP harus mempunyai daya terap (aplicable) yang tinggi. Tanpa perencanaan yang matang, mustahil target pembelajaran bisa tercapai secara maksimal. Pada sisi lain, melalui RPP pun dapat diketahui kadar kemampuan guru dalam menjalankan profesinya.
Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran konvensional dengan program pembelajaran kontekstual, yang membedakannya hanya penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.
Sebagaimana rencana pembelajaran pada umumnya, rencana pembelajaran berbasis kompetensi melalui pendekatan kontekstual dirancang oleh guru -yang akan melaksanakan pembelajaran di kelas yang berisi skenario tentang apa yang akan dilakukan siswanya sehubungan topik yang akan dipelajarinya. Secara teknis rencana pembelajaran minimal mencakup komponen-komponen berikut.
1.      Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar.
2.      Tujuan pembelajaran.
3.      Materi pembelajaran.
4.      Pendekatan dan metode pembelajaran.
5.      Langkah-langkah kegiatan pembelajaran.
6.      Alat dan sumber belajar.
7.      Evaluasi pembelajaran.
Berbeda dengan rencana pembelajaran yang dikembangkan oleh paham objektivis yang menekankan rincian dan kejelasan tujuan, rencana pembelajaran kontekstual -yang dikembangkan oleh paham konstruktivis- menekankan pada tahap-tahap kegiatan (yang mencerminkan proses pembelajaran) siswa dan media atau sumber pembelajaran yang dipakai. Dengan demikian, rumusan tujuan yang spesifik bukan menjadi prioritas dalam penyusunan rencana pembelajaran kontekstual karena yang akan dicapai lebih pada kemajuan proses belajarnya.
Adapun langkah-langkah yang patut dilakukan guru dalam penyusunan RPP adalah sebagai berikut:
1.      Ambillah satu unit pembelajaran(dalam silabus) yang akan diterapkan dalam pembelajaran.
2.      Tulis standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam unit tersebut.
3.      Tentukan indikator untuk mencapai kompetensi dasar tersebut.
4.      Tentukan alokasi waktu yang diperlukan untuk mencapai indikator
5.      Tentukan materi pembelajaran yang akan diberikan/dikenakan kepada siswa untuk mencapai tujuan dirumuskan.
6.      Pilihlah metode pembelajaran yang dapat mendukung sifat materi dan tujuan pembelajaran
7.      Susunlah langkah-langkah kegiatan pembelajaran pada setiap satuan rumusan tujuan pembelajaran yang bisa dikelompokkan menjadi menjadi kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan penutup,
8.      Jika alokasi waktu untuk mencapai statu kompetensi dasar lebih dari 2 9dua) jam pelajaran, bagilah langkah-langkah pembelajaran lebih menjadi satu pertemuan. Pembagian setiap jam pertemuan bisa didasarkan pada satuan tujuan pembelajaran atau sifat/tipe jenis materi pembelajaran.
9.      Sebutkan sumber/media belajar yang akan digunakan dalam pembelajaran secara konkret dan untuk setiap bagian/unit pertemuan.
10.  Tentukan teknik penilaian, bentuk, dan contoh instrumen penilaian yang akan digunakan untuk mengukur ketercapaian kompetensi dasar atau tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Jika instrumen penilaian tugas berbentuk tugas, rumusankan tugas tersebut secara jelas dan bagaimana rambu-rambu penilaiannya. Jika instrumen penilaian berbentuk soal, cantumkan soal-soal tersebut dan tentukan rambu-rambu penilaiannya dan/atau kunci jawabannya. Jika penilaiannya berbentuk proses, susunlah rubriknya dan indikator masing-masingnya.[27]
Atas dasar yang tersebut di atas, saran pokok dalam penyusunan program pembelajaran berbasis kontekstual adalah sebagai berikut:
1.      Menyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator. Misalnya, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia SD sebagai berikut:
Kompetensi dasar    :        Menyatakan/mengapa
Materi pokok   :  Kalimat sapaan
Indikator         :  Dapat mengemukakan kalimat sapaan yang tepat dalam sambuatan suatu acara, baik sebagai pembawa acara maupun ketua panitia acara.
Maka kegiatan utama pembelajarannya adalah: ”latihan Menyapa dengan menggunakan kalimat sapaan yang tepat dalam sambutan suatu acara”.
2.      Menyatakan tujuan umum pembelajaran.
3.      Rincilah media untuk mendukung kegiatan.
4.      Buatlah skenario tahap-demi tahap kegiatan siswa.
5.      Nyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran.[28]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pokok permasalahan, tujuan penulisan serta uraian dalam pembahasan dalam tulisan ini, dapat penulis simpulkan bahwa:
1.      Hakekat pendekatan kontekstual,
Pembelajaran kontekstual atau CTL adalah konsep belajar dimana guru menghadirka dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari; sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit-demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.
Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
2.      Landasan pemikiran dan teori pendekatan kontekstual,
a.       Proses Belajar
b.      Transfer belajar
c.       Siswa sebagai pembelajar
d.      Pentingnya lingkungan belajar
Pembelajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut:
a.       Belajar berbasis masalah (Problem-Based Learning),
b.      Pengajaran autentik (Authentic lnstruction),
c.       Belajar berbasis lnquiri (Inquiry-Based Learning)
d.      Belajar berbasis proyek/tugas (Project-Based Learning)
e.       Belajar berbasis kerja (Work-Based Learning)
f.       Belajar berbasis jasa-layanan (Service Learning)
g.      Belajar kooperatif (Cooperative Learning)
Sementara itu, Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan lima strategi disingkat dengan REACT, yaitu:
a.       Relating (Menghubungkan).
b.      Experiencing (mencoba).
c.       Applying (mengaplikasi).
d.      Cooperating (bekerja sama).Transferring (proses transfer ilmu).


3.      Aplikasi pendekatan kontekstual dalam pembelajaran,
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:
a.       Constructivisme (konstruktivisme, membangun, membentuk).
b.      Inquiry (menyelidiki, menemukan).
c.       Learning community (masyarakat belajar).
d.      Modelling (pemodelan).
e.       Questioning (bertanya).
f.       Reflection (refleksi atau umpan barik).
g.      Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya).
4.      Strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual,
Dalam Strategi pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini akan diuraikan berbagai strategi pengajaran yang berasosiasi dengan pendekatan kontekstual, yaitu:
a.       Pengajaran berbasis masalah
b.      Pengajaran kooperatif
c.       Pengajaran berbasis inkuiri
d.      Pengajaran autentik
e.       Pengajaran berbasis proyek/tugas
f.       Pengajaran berbasis kerja
g.      Pengajaran berbasis jasa layanan
5.      Perencanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
Saran pokok dalam penyusunan program pembelajaran berbasis kontekstual adalah sebagai berikut:
a.       Menyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator.
b.      Menyatakan tujuan umum pembelajaran.
c.       Rincilah media untuk mendukung kegiatan.
d.      Buatlah skenario tahap-demi tahap kegiatan siswa.
e.       Nyatakan authentic assessment-nya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati partisipasinya dalam pembelajaran
B.     Penutup
Penulis meyakini bahwa tulisan ini belumlah mencapai tingkat kesempurnaan dari yang diharapkan, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang konstruk, dan semoga bermanfaat bagi kita semua, amin.
Jambi, 17 Oktober 2010
Penulis,


Muhammad Nuzli


DAFTAR PUSTAKA
Muslich Masnur (2007). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual: Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Nurhadi; Yasin, B.; Senduk, A. G. (2003). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit UM.
Trianto (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana


[1]  Nurhadi; Yasin, B.; Senduk, A. G. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. (Malang: Penerbit UM. 2003) h. 1
[2]  Ibid, h. 4
[4]  Muslich Masnur. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual: Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007) h. 40
[5]  Op.Cit, Nurhadi, h. 11
[6] Ibid, h. 13
[7]   Ibid, h. 13
[8]  Ibid, h. 14
[9]   Ibid, h. 15
[10] Ibid, h. 17-19
[11] Ibid, 19-20
[12] Ibid, 22
[13] Trianto. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). (Jakarta: Kencana, 2009) h. 109
[14] Op.Cit, Nurhadi, 26-30
[15] Op.Cit, Masnur Muslich, h. 43-48
[16] Op.Cit, Nurhadi, 31
[17] Ibid, h. 32
[18] Ibid. 34
[19] Ibid, h. 43-44
[20] Ibid, h. 44
[21] Ibid, 46
[22] Ibid, 47-48
[23] Ibid, 51
[24] Ibid, 51
[25] Ibid, 52
[26] Ibid, 55-79
[27] Op.Cit, Masnur Muslich, h. 54-55
[28] Op.Cit. Nurhadi, 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan yang terbaik dan konstruktif kearah yang lebih baik, terima kasih

Kasih sayang

https://soundcloud.com/user-998203906/editing-audio_b