Jumat, 09 Juli 2010

Teknik Penyusunan Tes Hasil Belajar dan Pelaksanaannya

TEKNIK PENYUSUNAN TES HASIL BELAJAR DAN PELAKSANAANNYA


Mata Kuliah
EVALUASI PENDIDIKAN



Dosen Pengampu:
1. Dr. SURATNO, M.Pd.
2. Dr. EMOSDA, M.Pd.
3. Dr. FARIDA KOHAR, M.P.




Oleh Kelompok 7:
MUHAMMAD NUZLI
ARMIWATI
JUNI MARIANA
M. TABRANI






PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2010 







BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Dalam arti luas, menurut Mehrens & Lehmann yang dikutip oleh Ngalim Purwanto bahwa evaluasi adalah suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang sangat diperlukan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Berdasarkan pengertian tersebut maka setiap kegiatan evaluasi atau penilaian merupakan suatu proses yang sengaja direncanakan untuk memperoleh informasi atau data. Sudah barang tentu informasi atau data yang dikumpulkan itu haruslah data yang sesuai dan mendukung tujuan evaluasi yang direncanakan.

Dalam proses pembelajaran peran sekolah dan guru yang pokok adalah menyediakan dan memberikan fasilitas untuk memudahkan dan melancarkan cara belajar siswa. Guru harus dapat membangkit kegiatan-kegiatan yang membantu siswa meningkatkan hasil belajarnya.

Namun, di samping itu kadang-kadang guru merasa bahwa evaluasi itu merupakan sesuatu yang bertentangan dengan pengajaran. Hal ini timbul karena sering kali terlihat bahwa adanya kegiatan evaluasi justru merisaukan dan menurunkan gairah belajar pada siswa. Hingga anggapan dengan adanya kegiatan evaluasi itu bertentangan dengan kegiatan pengajaran. Pendapat yang demikian pada hakikatnya tidaklah benar. Evaluasi yang dilakukan dengan tidak benar dapat mematikan semangat belajar siswa.

Sebaliknya dengan evaluasi yang dilakukan dengan baik dan benar seharusnya dapat meningkatkan mutu dan hasil belajar siswa, karena kegiatan evaluasi itu membantu guru untuk memperbaiki cara mengajar dan membantu siswa dalam meningkatkan cara belajarnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa evaluasi tidak dapat dipisahkan dengan pengajaran.

Sehubungan dengan hal tersebut di dalam proses pembelajaran perlu adanya teknik dalam menyusun dan melaksanakan tes hasil belajar, yang akan paparkan secara sederhana dalam tulisan ini dengan mengangkat judul “Teknik Penyusunan Tes Hasil Belajar dan Pelaksanaannya”, dengan harapan semoga ini semua bermanfaat bagi pembaca yang budiman.


B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana teknik penyusunan tes hasil belajar?
2. Bagaimana melaksanakan tes hasil belajar?


C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk memahami teknik penyusunan tes hasil belajar,
2. Untuk memahami pelaksanaan tes hasil belajar.





BAB II

PEMBAHASAN



A. Teknik Penyusunan Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar merupakan salah satu jenis tes yang digunakan untuk mengukur perkembangan atau kemajuan belajar peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran.

Di dalam teknik penyusunan tes hasil belajar setidak tidaknya ada empat ciri atau karakteristik yang harus dimiliki oleh tes hasil belajar, sehingga tes tersebut dapat dinyatakan sebagai tes yang baik sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas Sudijono yaitu: “(1) valid (shahih = صحيح); (2) reliabel (tsabit = ثابت); (3) obyektif (maudu’iy = موضوعى); (4) praktis (‘amaliy = عملى)”.

Dari uraian keempat ciri atau karakteristik yang dijelaskan Anas Sudijono dalam bukunya, dapat dipaparkan secara singkat bahwa

Ciri Pertama: valid atau validitas yang sering diartikan dengan ketetapan, kebenaran, keshahihan atau keabsahan. Maka sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut dengan secara tepat, secara benar, secara shahih atau secara absah dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.

Ciri kedua: reliabel yang sering diterjemahkan dengan keajegan (=stability) atau kemantapan (=consystence). Maka sebuah tes dapat dikatakan reliabel apabila hasil-hasil pengukuran yang digunakan dengan menggunakan tes tersebut secara berulangkali terhadap obyek yang sama, senantiasa menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg dan stabil.

Ciri ketiga: obyektif yang dapat diartikan dengan “menurut apa adanya”. Ditinjau dari isi atau materi tesnya, tes diambilkan atau bersumber dari materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan sesuai atau sejalan dengan kompetensinya. Dan ditinjau dari segi pemberian skor dan penentuan nilai hasil tesnya, maka pemberian skor dan penentuan nilainya terhidar dari unsur-unsur subyektivitas.

Ciri keempat: praktis yang mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar tersebut dapat dilakukan dengan mudah, karena ada dua alasan:
1. Bersifat sederhana, tidak memerlukan peralatan yang banyak atau peralajan yang sulit pengadaannya,
2. Lengkap, tes tersebut telah dilengkapi dengan petunjuk mengenai bagaimana cara mengerjakannya, kunci jawabannya dan pedoman scoring serta penentuan nilainya.

Selain dari empat ciri atau karakteristik yang harus dimiliki oleh tes hasil belajar yang baik, ada beberapa prinsip dasar yang perlu dicermati di dalam menyusun tes hasil belajar agar tes tersebut dapat mengukur tujuan pembelajaran yang telah diajarkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas Sudijono yang dapat dipaparkan singkat, yaitu:

Pertama, tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Kedua, butir-butir soal tes hasil belajar harus merupakan sampel yang representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, sehingga dapat dianggap mewakili seluruh performance yang telah diperoleh.

Ketiga, bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat bervariasi, sehingga betul-betul cocok untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri.

Kempat, tes hasil belajar harus didesain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Pernyataan tersebut mengandung makna, bahwa desain tes hasil belajar harus disusun relevan dengan kegunaan yang dimiliki oleh masing-masing jenis tes. Desain dari placement test - (yaitu tes yang digunakan untuk penentuan penempatan siswa dalam suatu jenjang atau jenis program pendidikan tertentu). Sudah barang tentu akan berbeda dengan desain dari formative test - (yaitu tes yang digunakan untuk mencari umpan balik guna memperbaiki proses pembelajaran, baik bagi guru maupun bagi siswa) - dan summative test - (yaitu tes yang digunakan untuk mengukur atau menilai sampai dimana pencapaian siswa terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan dan selanjutnya untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan siswa yang bersangkutan). Demikian pula desain dari diagnostic test - (yaitu tes yang digunakan dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab kesulitan belajar siswa.

Kelima, tes hasil belajar harus memiliki reliabelitas yang dapat diandalkan.

Keenam, tes hasil belajar di samping harus dapat dijadikan alat pengukur keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk mencari informasi yang berguna untuk perbaikan cara belajar siswa dan cara mengajar guru itu sendiri.

Untuk mengukur perkembangan dan kemajuan belajar peserta didik, apabila ditinjau dari segi bentuk soalnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Tes hasil belajar bentuk uraian

a. Pengertian tes uraian

Tes uraian (essay test) juga sering dikenal dengan istilah tes subyektif (subjective test) adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang memiliki karakteristik sebagaimana dikemukakan berikut ini:

1) Tes tersebut dalam bentuk pertanyaan dan perintah yang menghendaki jawaban berupa uraian atau paparan kalimat yang pada umunnya cukup panjang,
2) Bentuk-bentuk pertanyaan atau perintah itu menuntut kepada testee untuk memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, membandingkan, membedakan dan sebagainya,
3) Jumlah butir soalnya umumnya terbatas, yaitu berkisar antara lima sampai dengan sepuluh butir,
4) Pada umumnya butir-butir soal tes uraian itu diawali dengan kata-kata: "jelaskan...", "Terangkan..." , "Uraikan...", "Mengapa...", "Bagaimana..." atau kata-kata lain yang serupa dengan itu.


b.Penggolongan tes uraian
Tes uraian dapat dibedakan dua golongan, yaitu tes uraian bentuk bebas atau terbuka, dan tes uraian berbentuk terbatas.

c.Ketepatan penggunaan tes uraian
Tes hasil belajar bentuk uraian sebagai salah satu alat pengukur hasil belajar, tepat dipergunakan apabila pembuat soal (guru, dosen, panitia ujian dan lain-lain) di samping ingin mengungkap daya ingat dan pemahaman testee terhadap materi pelajaran yang ditanyakan dalam tes, juga dikehendaki untuk mengungkap kemampuan testee dalam memahami berbagai macam konsep berikut aplikasinya.

d.Keunggulan dan kelemahan tes uraian
Keunggulan yang dimiliki oleh tes uraian diantaranya adalah:
1)Tes uraian adalah merupakan jenis tes hasil belajar yang pembuatannya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
2)Dengan menggunakan tes uraian, dapat dicegah kemungkinan timbulnya permainan spekulasi dikalangan testee.
3)Melalui butir-butir soal tes uraian, penyusun soal akan dapat mengetahui seberapa jauh tingkat kedalaman dan tingkat penguasaan testee dalam memahami materi yang ditanyakan dalam tes tersebut.
4)Dengan menggunakan tes uraian, testee akan terdorong dan terbiasa untuk berani mengemukakan pendapat dengan menggunakan susunan kalimat dan gaya bahasa yang merupakan hasil olahannya sendiri.

Kelemahan yang disandang oleh tes subyektif antara lain adalah:
1)Tes uraian pada umumnya kurang dapat menampung atau mencakup dan mewakili isi dan luasnya materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan kepada testee, yang seharusnya diujikan dalam tes hasil belajar.
2)Cara mengoreksi jawaban soal tes uraian cukup sulit.
3)Dalam pemberian skor hasil tes uraian, terdapat kecenderungan bahwa tester lebih banyak bersifat subyektif'.
4)Pekerjaan koreksi terhadap lembar-lembar jawaban hasil tes uraian sulit untuk diserahkan kepada orang lain.
5)Daya ketepatan mengukur (validitas) dan daya keajegan mengukur (reliabilitas) yang dimiliki oleh tes uraian pada umumnya rendah sehingga kurang dapat diandalkan sebagai alat pengukur hasil belajar yang baik.

e.Petunjuk operasioanl dalam penyusunan tes uraian
Beberapa petunjuk operasional yang dapat dijadikan pedoman dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, antara lain:
1)Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sejauh mungkin harus dapat diusahakan agar butir-butir soal tersebut dapat mencakup ide-ide pokok dari materi pelajaran yang telah diajarkan, atau telah diperintahkan kepada testee untuk mempelajarinya.
2)Untuk menghindari timbulnya perbuatan curang oleh testee (misalnya: menyontek atau bertanya kepada testee lainnya), hendaknya diusahakan agar susunan kalimat soal dibuat berlainan dengan susunan kalimat yang terdapat dalam buku pelajaran atau bahan lain yang dirninta untuk mempelajarinya.
3)Sesaat setelah butir-butir soal tes uraian dibuat, hendaknya segera disusun dan dirumuskan secara tegas, bagaimana atau seperti apakah seharusnya jawaban yang dikehendaki oleh tester sebagai jawaban yang betul.
4)Dalam menyusun butir-butir soal tes uraian hendaknya diusahakan agar pertanyaan-pertanyaan atau perintah-perintahnya jangan dibuat seragam, melainkan dibuat secara bervariasi.
5)Kalimat soal hendaknya disusun secara ringkas, padat dan jelas, sehingga cepat dipahami oleh testee dan tidak menimbulkan keraguan atau kebingungan bagi testee dalam memberikan jawabannya.
6)Suatu hal penting yang tidak boleh dilupakan oleh tester ialah, agar dalam menyusun butir-butir soal tes uraian, sebelum sampai pada butir-butir soal yang harus dijawab atau dikerjakan oleh testee, hendaknya dikemukakan pedoman tentang cara mengerjakan atau menjawab butir-butir soal tersebut.



2.Tes hasil belajar bentuk obyektif (objective test)

a.Pengertian tes obyektif
Tes obyektif (objective test) yang juga dikenal dengan istilah tes jawaban pendek (short answer test), tes "ya-tidak" (yes-no test) dan tes model baru (new type test),adalah salah satu jenis tes hasil belajar yang terdiri dari butir-butir soal (items) yang dapat dijawab oleh testee dengan jalan memilih salah satu (atau lebih) di antara beberapa kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada masing-masing items; atau dengan jalan menuliskan (mengisikan) jawabannya berupa kata-kata atau simbol-simbol tertentu pada tempat atau ruang yang telah disediakan untuk masing-rnasing butir item yang bersangkutan.

b.Penggolongan tes obyektif
Tes obyektif dapat dibedakan menjadi lima golongan, yaitu:
1)Tes obyektif bentuk benar-salah (True-False Test).
2)Tes obyektif bentuk menjodohkan (Matching Test).
3)Tes obyektif bentuk melengkapi (Completion Test).
4)Tes obyektif bentuk isian (Fill in Test)
5)Tes obyektif bentuk pilihan ganda (Multiple Choice Item Test)

c.Ketepatan penggunaan tes obyektif
Tes hasil belajar bentuk obyektif tepat digunakan apabila tester berhadapan dengan kenyataan-kenyataan seperti tersebut di bawah ini:
1)Peserta tes jumlahnya cukup banyak. Dengan jumlah testee yang cukup banyak itu, maka penggunaan tes uraian menjadi kurang efektif dan efisien, terutama ditinjau dari segi waktu yang dibutuhkan untuk mengoreksi hasilnya.
2)Penyusun tes (tester) telah memiliki kemampuan dan bekal pengalaman yang luas dalam menyusun butir-butir soal tes obyektif.
3)Penyusun tes memiliki waktu yang cukup longgar dalam mempersiapkan penyusunan butir-butir soal tes obyektif.
4)Penyusun tes merencanakan, bahwa butir-butir soal tes obyektif itu tidak hanya akan dipergunakan dalam satu kail tes saja, melainkan akan dipergunakan lagi pada kesempatan tes-tes hasil belajar yang akan datang.
5)Penyusun tes mempunyai keyakinan penuh bahwa dengan menggunakan butir-butir soal tes obyektif yang disusunnya itu, akan dapat dilakukan penganalisisan dalam rangka mengetahui kualitas butir-butir itemnya.
6)Penyusun tes berkeyakinan bahwa dengan mengeluarkan butir-butir soal tes obyektif, maka prinsip obyektivitas akan lebih mungkin untuk diwujudkan ketimbang menggunakan butir-butir soal tes subyektif.


d.Keunggulan dan kelemahan tes obyektif
Keunggulan yang dimiliki oleh tes obyektif, antara lain:
1)Tes obyektif sifatnya lebih representatif dalam hal mencakup dan mewakili materi yang telah diajarkan kepada peserta didik atau telah diperintahkan kepada peserta didik untuk mempelajarinya.
2)Tes obyektif lebih memungkinkan bagi tester untuk bertindak lebih obyektif, baik dalam mengoreksi lembar-lembar jawaban soal, menentukan bobot skor maupun dalam menentukan nilai hasil tesnya.
3)Mengoreksi hasil tes obyektif adalah jauh lebih mudah dan lebih cepat ketimbang mengoreksi hasil tes uraian.
4)Berbeda dengan tes uraian, maka tes obyektif memberikan kemungkinan kepada orang lain untuk ditugasi atau dimintai bantuan guna mengoreksi hasil tes tersebut.
5)Butir-butir soal pada tes obyektif, jauh lebih mudah dianalisis, baik analisis dari segi derajat kesukarannya, daya pembedanya, validitas maupun reliabilitasnya.
Kelemahan tes obyektif antara lain:
1)Menyusun butir-butir soal tes obyektif adalah tidak semudah seperti halnya menyusun tes uraian. Bukan hanya karena jumlah butir-butir soalnya cukup banyak, menyiapkan kemungkinan jawab yang harus dipasangkan pada setiap butir item pada tes obyektif itu juga bukan merupakan pekerjaan yang ringan.
2)Tes obyektif pada umumnya kurang dapat mengukur atau mengungkap proses berpikir yang tinggi atau mendalam.
3)Dengan tes obyektif, terbuka kemungkinan bagi testee untuk bermain spekulasi, tebak terka, adu untung dalam memberikan jawaban soal.
4)Cara memberikan jawaban soal pada tes obyektif, di mana dipergunakan simbol-simbol huruf yang sifatnya seragam.


b.Petunjuk operasional penyusunan tes obyektif
1)Untuk dapat menyusun butir-butir soal tes obyektif yang bermutu tinggi, pembuat soal tes (dalam hal ini guru, dosen dan lain-lain) harus membiasakan diri dan sering berlatih, sehingga dari waktu ke waktu ia akan dapat merancang dan menyusun butir-butir soal tes obyektif dengan lebih baik dan lebih sempurna.
2)Setiap kali alat pengukur hasil belajar berupa tes obyektif itu selesai dipergunakan, hendaknya dilakukan penganalisisan item, dengan tujuan dapat mengidentifikasi butir-butir item mana yang sudah termasuk dalam kategori "baik" dan butir-butir item mana yang masih termasuk dalam kategori "kurang baik" dan "tidak baik".
3)Dalam rangka mencegah timbulnya permainan spekulasi dan kerja sama yang tidak sehat di kalangan testee, perlu disiapkan terlebih dahulu suatu norma yang memperhitungkan faktor tebakan.
4)Agar tes obyektif disamping mengungkap aspek ingatan atau hafalan juga dapat mengungkap aspek-aspek berpikir yang lebih dalam.
5)Dalam menyusun kalimat soal-soal tes obyektif, bahasa atau istilah-istilah yang dipergunakan hendaknya cukup sederhana, ringkas, jelas dan mudah dipahami oleh testee.
6)Untuk mencegah terjadinya silang pendapat atau perdebatan antara testee dengan tester, dalam menyusun butir-butir soal tes obyektif hendaknya diusahakan sungguh-sungguh agar tidak ada butir-butir yang dapat menghasilkan penafsiran ganda atau kerancuan dalam pemberian jawabannya.
7)Cara memenggal atau memutus kalimat, membubuhkan tanda-tanda baca seperti titik, koma dan sebagainya, penulisan tanda-tanda aljabar seperti kuadrat, akar dan sebagainya, hendaknya ditulis secara benar, usahakan agar tidak terjadi kesalahan ketik atau kesalahan cetak, sehingga tidak mengganggu konsentrasi testee dalam memberikan jawaban soal.
8)Dengan cara bagaimanakah testee seharusnya memberikan jawaban terhadap butir-butir soal yang diajukan dalam tes, hendaknya diberikan pedoman atau petunjuknya secara jelas dan tegas,





B.Teknik Pelaksanaan Tes Hasil Belajar
Dalam praktek, pelaksanaan tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), dengan secara lisan (tes lisan) dan dengan tes perbuatan.
Pada tes tertulis, soal-soal tes dituangkan dalam bentuk tertulis dan jawaban tes juga tertulis. Pada tes lisan, soal-soal tes diajukan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Namun demikian dapat juga soal-soal tes diajukan secara lisan dan dalam waktu yang ditentukan, jawaban harus dibuat secara tertulis. Adapun pada tes perbuatan, wujud soal tesnya adalah pemberian perintah atau tugas yang harus dilaksanakan oleh testee, dan cara penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai setelah testee melaksanakan tugas tersebut.


1.Teknik Pelaksanaan Tes Tertulis
Dalam melaksanakan tes tertulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu sebagaimana dikemukakan berikut ini:
a.Agar dalam mengerjakan soal tes para peserta tes mendapat ketenangan, seyogyanya ruang tempat berlangsungnya tes dipilihkan yang jauh dari keramaian, kebisingan, suara hiruk-pikuk dan lalu lalangnya orang. Adalah sangatbijaksana apabila di luar ruangan tes dipasang papan pernberitahuan.
b.Ruangan tes harus cukup longgar, tidak berdesak-desakan, tempat duduk diatur dengan jarak tertentu yang memungkinkan tercegahnya kerja sama yang tidak sehat di antara testee.
c.Ruangan tes sebaiknya memiliki sistem pencahayaan dan pertukaran udara yang baik.
d.Jika dalam ruangan tes tidak tersedia meja tulis atau kursi yang memiliki alas tempat penulis,maka sebelum tes dilaksanakan hendaknya sudah disiapkan alat berupa alas tulis yang terbuat dari triplex, hardboard atau buhur, lainnya.
e.Agar testee dapat memulai mengerjakan soal tes secara bersamaan, hendaknya lembar soal-soal tes diletakkan secara terbalik, sehingga tidak memungkinkan bagi testee untuk membaca dan mengerjakan soal lebih awal daripada teman-temannya.
f.Dalam mengawasi jalannya tes, pengawas hendaknya berlaku wajar. Artinya jangan terlalu banyak bergerak, terlalu sering berjalan-jalan dalam ruangan tes sehingga mengganggu kottsentrasi testee. Sebaliknya, pengawas tes juga jangan selalu duduk di kursi sehingga dapat membuka peluang bagi testee yang tidak jujur untuk bertindak curang.
g.Sebelum berlangsungnya tes, hendaknya sudah ditentukan lebih dahulu sanksi yang dapat dikenakan kepada testee yang berbuat curang.
h.Sebagai bukti mengikuti tes, harus disiapkan daftar hadir yang harus ditandatangani oleh seluruh peserta tes.
i.Jika waktu yang ditentukan telah habis, hendaknya testee diminta untuk menghentikan pekerjaannya dan secepatnya meninggalkan ruangan tes.
j.Untuk mencegah timbulnya berbagai kesulitan dikemudian hari, pada Berita Acara Pelaksanaan Tes harus dituliskan secara lengkap, berapa orang testee yang hadir dan siapa yang tidak hadir, dengan menuliskan identitasnya (nomor urut, nomor induk, nomor ujian, nama dan sebagainya), dan apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan atau kelainan-kelainan harus dicatat dalam berita acara pelaksanaan tes tersebut.


2.Teknik Pelaksanaan Tes Lisan
Beberapa petunjuk praktis berikut ini kiranya akan dapat dipergunakan sebagai Pegangan dalam pelaksanaan tes lisan, yaitu:
a.Sebelum tes lisan dilaksanakan, seyogyanya tester sudah melakukan inventarisasi berbagai jenis soal yang akan diajukan kepada testee dalam tes lisan tersebut, sehingga tes lisan dapat diharapkan memiliki validitas yang tinggi, baik dari segi isi maupun konstruksinya.
b.Setiap butir soal yang telah ditetapkan untuk diajukan dalam tes lisan itu, juga harus disiapkan sekaligus pedoman atau ancar-ancar jawaban betulnya.
c.Jangan sekali-kali menentukan skor atau nilai hasil tes lisan setelah seluruh testee menjalani tes lisan. Skor atau nilai hasil tes lisan harus sudah dapat ditentukan di saat masing-masing testee selesai dites.
d.Tes hasil belajar yang dilaksanakan secara lisan hendaknya jangan sampai menyimpang atau berubah arah dari evaluasi menjadi diskusi.
e.Dalam rangka menegakkan prinsip obyektivitas dan prinsip keadilan, dalam tes yang dilaksanakan secara lisan itu, tester hendaknya jangan sekali-kali "memberikan angin segar" atau "memancing-mancing" dengan kata-kata, kalimat-kalimat atau kode-kode tertentu yang sifatnya menolong testee tertentu alasan "kasihan" atau karena tester menaruh "rasa simpati" kepada testee yang ada dihadapinya itu. Menguji, pada hakikatnya adalah "mengukur" dan bukan "membimbing" testee.
f.Tes lisan harus berlangsung secara wajar. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa tes lisan itu jangan sampai menimbulkan rasa takut, gugup atau panik di kalangan testee.
g.Sekalipun acapkali sulit untuk dapat diwujudkan, namun sebaiknya tester mempunyai pedoman atau ancar-ancar yang pasti, berapa lama atau berapa waktu yang disediakan bagi tiap peserta tes dalam menjawab soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan pada tes lisan tersebut.
h.Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam tes lisan hendaknya dibuat bervariasi, dalam arti bahwa sekalipun inti persoalan yang ditanyakan itu sama, namun cara pengajuan pertanyaannya dibuat berlainan atau beragam.
i.Sejauh mungkin dapat diusahakan agar tes lisan itu berlangsung secara individual (satu demi satu).


3.Teknik Pelaksanaan Tes Perbuatan
Tes perbuatan pada umumnya digunakan untuk mengukur taraf kompetensi yang bersifat keterampilan (psikomotorik), dimana penilaiannya dilakukan terhadap proses penyelesaian tugas dan hasil akhir yang dicapai oleh testee setelah melaksanakan tugas tersebut.

Karena tes inibertujuan ingin mengukur keterampilan, maka sebaiknya tes perbuatan ini dilaksanakan secara individual. Hal ini dimaksudkan agar masing-masing individu yang dites akan dapat diamati dan dinilai secara pasti, sejauh mana kemampuan atau keterampilannya dalam melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada masing-masing individu tersebut.

Dalam melaksanakan tes perbuatan itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh tester, yaitu:
a.Tester harus mengamati dengan secara teliti, cara yang ditempuh oleh testee dalam menyelesaikan tugas yang telah ditentukan.
b.Agar dapat dicapai kadar obyektivitas setinggi mungkin, hendaknya tester jangan berbicara atau berbuat sesuatu yang dapat mempengaruhi testee yang sedang mengerjakan tugas tersebut.
c.Dalam mengamati testee yang sedang melaksanakan tugas itu, hendaknya tester telah menyiapkan instrumen berupa lembar penilaian yang di dalamnya telah ditentukan hal-hal apa sajakah yang harus diamati dan diberikan penilaian.  





BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.Teknik penyusunan tes hasil belajar ditinjau dari bentuk soal dapat dibeadakan dua macam, yaitu: tes hasil belajar bentuk uraian dan bentuk obyektif,
2.Teknik pelaksanaan tes hasil belajar dapat diselenggarakan secara tertulis (tes tertulis), secara lisan (tes lisan), dan secara perbuatan (tes perbuatan).


B.Saran
Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis menyarankan kepada pembaca untuk pemahaman yang lebih dalam dapat membaca tentang hal tersebut lebih banyak lagi dari sumber-sumber yang lain. Dan penulis mengharapkan masukkan yang konstruktif kepada kita semua, demi penyempurnaan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto M. Ngalim (2009), Prinsip-prinsip dan Tekhnik Evaluasi Pengajaran. PT Remaja Rosdakerya: Bandung
Sudijono Anas (1998), Pengantar Evaluasi Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta

Jumat, 11 Juni 2010

Pendekatan dalam Desain Pesan Pembelajaran


PENDEKATAN DALAM DESAIN PESAN PEMBELAJARAN

Mata Kuliah
DESAIN PESAN PEMBELAJARAN

Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Mujiyono Wiryotinoyo, M. Pd
2. Dr. Rahmat Murbojono, M. Pd


Oleh Kelompok 7:
MUHAMMAD NUZLI
A2E009073



PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2010





PEDEKATAN DALAM DESAIN PESAN PEMBELAJARAN

A. Latar Belakang
Pada sajian materi terdahulu kita telah banyak membahas materi yang berkenaan dengan desain pesan pembelajaran baik itu berkenaan dengan hakekat desain pesan pembelajaran, teori-teori pembelajaran, teori pembelajaran, maupun landasan desain pesan pembelajaran.

Dalam proses pembelajaran siswa belajar berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan dalam bentuk orang-orang, alat-alat berupa media dan ide-ide. Dalam proses pembelajaran ini tugas utama guru adalah menciptakan lingkungan-lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif dan memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan yang demikian dirancang oleh seorang guru dalam rencana mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditentukan memerlukan bahan ajar yang tersusun atas topik-topik dan sub-sub topik tertentu. “Topik-topik dan sub-sub topik tersebut tersusun dalam sekuens tertentu yang membentuk sekuens bahan ajar” . Menurut Nana Syaodih Sukmadinata ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu:

1. Sekuens kronologis,
2. Sekuens kausal,
3. Sekuens struktural,
4. Sekuens logis dan psikologis,
5. Sekuens spiral
6. Rangkaian ke belakang,
7. Sekuens berdasarkan hierarki belajar.

Dalam sajian materi ini tidak semua sekuens di atas dikemukakan, akan tetapi hanya 3 (tiga) sekuens saja yaitu: sekuens kronologis, sekuens kausal, dan sekuens struktural. Karena sekuesn yang lainnya akan dibahas pada kelompok selanjutnya.


B. Pokok Permasalahan

Sebagaimana latar belakang di atas bahwa dalam sajian materi ini hanya mengemukakan 3 (tiga) sekuens yaitu: sekuens kronologis, sekuens kausal, dan sekuens struktural. Sehubungan dengan hal tersebut maka pokok permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaiamana sekuens kronologis dalam desain pesan pembelajaran atau bahan ajar?
2. Bagaiamana sekuens kausal dalam desain pesan pembelajaran atau bahan ajar?
3. Bagaiamana sekuens struktural dalam desain pesan pembelajaran atau bahan ajar?


C. Tujuan Penulisan

Yang menjadi tujuan dalam penulisan sajian materi ini tidak terlepas dari pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan penulisan ini yaitu:
1. Untuk memahami sekuens kronologis dalam desain pesan pembelajaran atau bahan ajar,
2. Untuk memahami sekuens kausal dalam desain pesan pembelajaran atau bahan ajar,
3. Untuk memahami sekuens struktural dalam desain pesan pembelajaran atau bahan ajar.


D. Sajian Materi/Pembahasan

Untuk membantu dalam pemahaman pendekatan dalam desain pesan pembelajaran, ada baiknya terlebih dahulu akan dikemukakan apa yang dimaksud dengan sekuens, dalam kamus elektronik kata “sekuens” sama dengan “sequence” yang dapat diartikan sebagai “1 rangkaian. 2 urutan (of events). 3 rentetan”. Dari arti tersebut sejalan apa yang dikemukakan oleh Nana Syaodih Sukmadinata bahwa topik-topik dan sub-sub topik tersebut tersusun dalam sekuens tertentu yang membentuk sekuens bahan ajar.

Beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar sebagaimana yang dikemukakan oleh Nana Syaodih Sukmadinata dapat diuraikan dibawah ini.

1. Sekuens kronologis
Sekuen kronologis, “untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan waktu, dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwa-peristiwa sejarah, perkembangan historis suatu institusi, penemuan-penemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis.

2. Sekuens kausal
Sekuens kausal, masih berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah sekuens kausal. Siswa dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain. Dengan mempelajari sesuatu yang menjadi sebab atau pendahulu para siswa akan menemukan menemukan akibatnya. Menurut Rowntree (1974: 75) "sekuens kausal cocok untuk menyusun bahan ajar dalam bidang meteorologi dan geomorfologi".

3. Sekuens struktural
Sekuens struktural, bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah mempunyai struktur tetentu. Penyusunan sekuens bahan ajar bidang studi tersebut perlu disesuaikan dengan strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih dahulu mengajarkan mengajarkan pemantulan dan pembiasan cahaya, dan pemantulan pembiasan cahaya tidak mungkin diajarkan tanpa terlebih dahulu ngajarkan masalah cahaya. Masalah cahaya, pemantulan-pembiasan dan alat-alat optik tersusun secara struktural.


E. Kesimpulan
Dari sajian materi/pembahsan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Sekuen kronologis, untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan waktu,
2. Sekuen kausal, untuk menyusun bahan ajar yang mengandung peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain,
3. Sekuan struktural, penyusunan sekuens bahan ajar yang perlu disesuaikan dengan strukturnya.



DAFTAR PUSTAKA

Sumadinata Nana Syaodih (2010), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Kamus 2.0 English-Indonesian and Indonesian-English Dictionary Copyright ©2006-2007 by Ebta Setiawan

Jumat, 30 April 2010

Teori-Teori Pembelajaran

By Supardi & Muhammad Nuzli


A. LATAR BELAKANG
Pada hakekatnya Desain Pesan Pembelajaran adalah proses perumusan tujuan dan pengembangan isi/materi pembelajaran dalam rangka perbaikan kualitas pembelajaran. Desain pesan pembelajaran perlu dilakukan untuk memecahkan problem dalam pembelajaran atau memenuhi kebutuhan masyarakat.
Desain Pesan Pembelajaran memberikan ilustrasi, mengetahui bagaimana merencanakan dan mengembangkan tujuan serta materi pembelajaran. Pengembangan tujuan dan materi pembelajaran didasarkan pada teori belajar dan pembelajaran, teknologi informasi, berbagai landasan filosofis, dan hasil analisis sistematik.
Salah satu yang harus diketahui oleh Seorang Desainer pesan pembelajaran adalah Teori Pembelajaran. Oleh karena itulah penulis, mencoba membahas teori-teori pembelajaran dalam desain pesan pesan pembelajaran. Adapun pokok pembahasan adalah:
1. Konsepsi Teori
2. Fungsi teori dalam desain pesan pembelajaran
3. Perkembangan teori pembelajaran
B. PEMBAHASAN
1. KONSEPSI TEORI
Fakta melahirkan sebuah Konsep, hubungan antara konsep dengan konsep itulah sebuah Teori. Konsep adalah abstraksi dari fakta. Teori adalah seperangkat konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang memberikan, menjelaskan dan memprediksi penomena.
Ada dua macam teori, yaitu teori intuitif dan teori ilmiah. Teori Intuitif adalah teori yang dibangun berdasarkan pengalaman praktis. Sedangkan teori Ilmiah (teori Formal) adalah teori yang dibangun berdasarkan hasil-hasil penelitian. Guru lebih sering menggunakan teori jenis yang pertama
Teori memiliki dua ciri umum:
a. semua teori adalah abstraksi tentang sesuatu hal, yang berarti suatu teori bersifat terbatas.
b. Semua teori adalah konstruski ciptaan individual manusia. Oleh karena itu sifatnya relatif dalam arti tergantung pada cara pandang sipencipta teori, sifat dan aspek yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempat dan lingkungan sekitarnya
2. FUNGSI TEORI DALAM DESAIN PEMBELAJARAN
Adapun fungsi teori adalah ini juga berlaku dalam pembelajaran, yakni:
a. Berguna sebagai kerangka kerja untuk melakukan penelitian atau mendesain pesan pembelajaran
Teori sangat berguna untuk kerangka kerja penelitian atau mendesain pesan pembelajaran, terutama untuk mencegah praktek-praktek pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi pemahaman peristiwa.

b. Memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu.
Semua teori belajar memenuhi fungsi ini. Dalam menjalankan fungsi ini teori dapat dijadikan acuan dan pedoman bagi pembelajar dalam melakukan aktivitasnya. Dengan memahami teori, pembelajar akan dapat melakukan pekerjaannya secara efisien dan efektif.

c. Identifikasi kejadian yang komplek
Teori dapat menjalankan fungsinya dalam mengatasi masalah-masalah pembelajaran melalui identifikasi kejadian yang komplek. Karena teori sering dapat mengungkapkan seluk beluk dan kerumitan peristiwa-peristiwa yang tampaknya sederhana.

d. Reorganisasi pengalaman-pengalaman sebelumnya
Fungsi teori yang keempat ini, erat kaitannya dengan upaya untuk menyusun kembali kepercayaan lama, terutama hal-hal penting yang ada manfaatnya bagi proses belajar di kelas.

e. Teori Sebagai Model Kerja
Disamping empat fungsi tersebut diatas, teori juga diharapkan dapat menjadi model kerja. Teori dapat dijadikan model kerja fenomena tertentu sampai diketemukannya teori baru.


3. PERKEMBANGAN TEORI PEMBELAJARAN

Belajar adalah suatu proses dimana organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari pengalaman. Dimyati dan Mudjiono ; 1999) mengemukakan Siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Sedangkan Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaaan sumber balajar.
Menurut J. Brunner ( 1964) membuat perbedaan antara teori belajar dengan teori pembelajaran. Teori belajar adalah Deskriptif sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori Belajar mendeskripsikan adanya proses belajar. Sedangkan Teori Pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal yang dapat mempermudah proses belajar.

Teori belajar adalah konsep-konsep dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat teoritis dan telah teruji kebenarannya melalui eksperimen. Teori belajar itu berasal dari teori psikologi dan terutama menyangkut masalah situasi belajar. Sebagai salah satu cabang ilmu deskriptif, maka teori belajar berfungsi menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana proses belajar terjadi pada si belajar. Karena para pakar psikologi mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda dalam menjelaskan apa, mengapa dan bagaimana belajar itu terjadi, maka menimbulkan beberapa teori belajar seperti teori behavioristik, kognitif, humanistik, sibernetik dan sebagianya.
Teori pembelajaran tidak menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi, tetapi lebih merupakan implementasi prinsip-prinsip teori belajar dan berfungsi untuk memecahkan masalah praktis dalam pembelajaran. Oleh karena itu teori pembelajaran selalu akan mempersoalkan bagaimana prosedur pembelajaran yang efektif. Teori pembelajaran akan menjelaskan bagaimana menimbulkan pengalaman belajar dan bagaimana pula menilai dan memperbaiki metode dan teknik yang tepat
Keberadaan pembelajaran dalam arti pengajaran sebenarnya bersamaan dengan keberadaan profesi guru, yaitu sejak kedua konsep tersebut diakui keberadaannya oleh masyarakat. Pada waktu itu ilmu pendidikan masih bernaung dalam ilmu filsafat. Pada waktu itu yang dikembangkan oleh para filosof adalah pengetahuan tentang peranan guru, fungsi pikiran dan hakekat pengetahuan. Pengembangan yang mereka lakukan dengan mengajukan pertanyaan, apa pengetahuan itu, bagaimana asal mulanya? Jawaban pertanyaan itu akan menggiring secara sistematis mengenai pengetahuan belajar.
Salah satu pandangan tentang belajar dikemukakan oleh Plato (427-327 SM), ia (faham idealisme) melukiskan bahwa pikiran dan jiwa sebagai hal yang sifatnya dasar bagi segala sesuatu yang ada. Maka belajar dilukiskan sebagai pengembangan oleh pikiran berupa idea yang bersifat keturunan. Dari pandangan itu Plato mengenalkan konsep pembelajaran: “disiplin mental”. Teori disiplin mental menganggap bahwa dalam belajar mental siswa didisiplinkan atau dilatih. Belajar adalah mengembangkan diri dari kekuatan, kemampuan, dan potensi-potensi individu.
Seiring dengan perkembangan filsafat empirisme (realisme), yang mendewakan pengalaman, mempengaruhi munculnya psikologi empirisme. Psikologi empirisme menyatakan bahwa pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengamatan indera bukan dari berpikir seperti yang dinyatakan oleh kaum rasionalisme.
Dengan psikologi empiris memunculkan teori psikologi unsur, teori daya, teori gestald dan sebagainya. Seiring dengan berkembangnya aliran empirisme para pengikut psikologi empirisme aktif melakukan eksperimen guna menguji dan mempertahankan teori-teorinya. Akhirnya teori-teori tersebut juga diterapkan dalam pendidikan sebagai prinsip pembelajaran..
Dalam pengembangan psikologi modern khususnya dibidang psikologi belajar muncul teori belajar behavioristik dengan tokoh Thorndike, Watson, Guthrie, Skinner dan lain-lain. Teori belajar behavioristik (Skinner) menimbulkan teori pembelajaran Pengajaran berprogram, Mastery learning. Pengembangan psikologi Gestald melahirkan teori belajar kognitif dengan tokoh Piaget, Brunner, Ausable dan lain-lain. Teori kognitif pun, menimbulkan teori pembelajaran seperti Pembelajaran konsep, Advance Organizer dan sebagainya.
Perkembangan teori belajar pada abad 21, ditandai munculnya teori konstrukivisme, yang menimbulkan teori pembelajaran baru seperti pembelajaran strategi kognitif, konstruktivisme dan belajar mandiri. Secara garis besar kejadian dibidang perkembangan teori belajar menunjukkan bahwa perkembangan teori pembelajaran berkaitan dengan perkembangan teori belajar.



C. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Teori adalah Hubungan Konsep dengan konsep. Dimana Teori berfungsi sebagai:
- kerangka kerja untuk melakukan penelitian atau mendesain pesan pembelajaran
- Memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu.
- Identifikasi kejadian yang komplek
- Reorganisasi pengalaman-pengalaman sebelumnya
- Teori Sebagai Model Kerja
Teori Pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal yang dapat mempermudah proses belajar. Teori pembelajaran tidak menjelaskan bagaimana proses belajar terjadi, tetapi lebih merupakan implementasi prinsip-prinsip teori belajar dan berfungsi untuk memecahkan masalah praktis dalam pembelajaran. Perkembangan teori pembelajaran, seiring dengan perkembangan zaman.


2. SARAN

Dalam mendesain pesan pembelajaran seorang desainer perlu mengetahui teori pembelajaran. Agar dalam proses pembelajaran tercapai tujuan yang diharapkan.

Pada Akhir makalah ini, Penulis meyakini bahwa tulisan ini belumlah mencapai tingkat kesempurnaan dari yang diharapkan, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang konstruk, dan semoga bermanfaat bagi pembaca yang budiman dan bagi penulis pada khususnya, amin.

DAFTAR PUSTAKA

Dimyati dan Mudjiono (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Syaiful Sagala (2008). Konsep dan Makna Pembelajaran.Bandung: Alfabeta

Sukmadinata Syaodih Nana (1997). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya








Balas Teruskan supardi tidak bisa diajak chatting saat ini

Sabtu, 09 Januari 2010

Pelangi Teknologi Pendidikan

Pelangi Teknologi Pendidikan
Adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses dan sumber belajar.

Empat Komponen Teknologi Pendidikan
1. Teori dan praktek
2. Desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian
3. Proses dan sumber
4. Untuk keperluan belajar

Empat Kajian dalam Pelangi TP
1. Pendidikan untuk semua (PUS), semua untuk pendidikan (SUP)
2. Pendidikan melalui seni dalam pendekatan pembelajaran kesenian terpadu
3. Sumbang Pemikiran untuk Meningkatkan Kompetensi Lulusan Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
4. Pengembangan Media Televisi untuk Pendidikan

Kajian Pertama Pelangi TP Pendidikan untuk semua (PUS), semua untuk pendidikan (SUP)
Apa pendidikan? Batasannya?

Batasan Pertama (Napitupulu 1967):
Pendidikan adalah usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana dengan maksud mengubah tingkah laku manusia kearah yang diinginkan.

Batasan kedua (UU RI No. 2 Tahun 1989):
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang.

Batasan ketiga (UU RI No. 20 Tahun 2003):
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Program Pendidikan Untuk Semua (SUP)
1. Pemberantasan buta huruf
2. Universalisasi pendidikan dasar, dan
3. Peranan pendidikan dalam pembangunan

Program Semua Untuk Pendidikan (SUP)
Berarti semua orang, tua muda, besar kecil, kaya miskin, harus memperoleh pendidikan

Kajian Kedua Pelangi TP
Pendidikan melalui seni dalam pendekatan pembelajaran kesenian terpadu.
Dengan seni, kegiatan manusia menjadi amat menyenangkan karena di dalamnya terdapat kegiatan bermain, bereksplorasi dan bereksperimentasi dengan menggunakan berbagai unsur seni.

Kajian Kedua Pelangi TP Pendidikan melalui seni dalam pendekatan pembelajaran kesenian terpadu
Peran Pendidikan Seni
1. Multidimensional
2. Multilingual
3. Multikultural

Kajian Ketiga Pelangi TP Sumbang Pemikiran untuk Meningkatkan Kompetensi Lulusan Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
Tiga aspek usulan dalam rangka upaya peningkatan kompetensi lulusan:
1. Perubahan kurikulum
2. Peningkatan kinerja staf pengajar
3. Peningkatan aktivitas belajar peserta didik

Kajian Keempat Pelangi TP
Pengembangan Media Televisi untuk Pendidikan

Sekian dan Terima Kasih

Kasih sayang

https://soundcloud.com/user-998203906/editing-audio_b